Saturday, September 28, 2019

Published September 28, 2019 by with 0 comment

Pengertian Warisan

Pengertian Adat dan Hukum Adat

Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku-perilaku yang terus menerus yang dilakukan oleh seseorang menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain , maka ia akan menjadi kebiasaan orang itu. Lamban laun diantara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melaksanakan kebiasaan tadi maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat itu.

Istilah “adat” berasal dari bahasa arab “adah” yang merujuk pada ragam perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Pengertian tersebut di atas mengarah kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya berlaku pada suatu masyarakat.

Adat diartikan sebagai kebiasaan. Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”.

Secara bahasa, al-‘adah diambil dari kata al-‘aud atau al-mu’awadah yang artinya berulang. Ibnu Nuzaim mendefenisikanal-aadah dengan :

عَبًّا رَةِ عَمَّا يَسْتَقِرُّ فِي النُّفٌو سِ مِنْ الْمُتَكَرِّرِ الْمَقْبُو لَةِ الْعُمُورِ عِنْدَ الطَّبَا عِ السَّلِيمَةِ

Artinya: “Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.

Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai tingkah laku seseorang yang terus menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama. Dalam istilah lain dikatakan bahwa al-urf yaitu apa yang salin diketahui dan saling dijalani orang. Berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan dinamakan adat. Menurut para ahli-ahli syar’i, tidak berbeda antara al-urf dengan adat.

Secara umum, adat adalah sebuah kecendrungan (berupa ungkapan atau pekerjaan) pada suatu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud baik dilakukan pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian nilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir manejadi watak pelakunya.

Menururt Shalih Ibn Ghanim, sebenarnya antara al-adaah dan ‘urf dari segi bahasa terdapat kesamaan dalam segi mushadaqnya (sesuatu yang ditunjuk), namun keduanya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi mafhumnya. Menurutnya, al-adaah lebih umum dari al-‘urf. Al-adaah mencakup segala jenis kebiasaan yang berulang-ulang, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik berasal dari individu maupun kelompok dan tanpa mempedulikan apakah kebiasaan itu baik ataukah jelek. Sementara cakupan ‘urf hanya mencakup apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-adaah al-ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin mendefenisikan ‘urf dn adat adalah : Perbedaan antar keduamya itu juga dapat dilihat dari segi kandungan artinya yaitu adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan yang tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut jadi kata adat ini berkonotasi netral sehingga ada adat yang baik dan ada adat yang buruk. Kalau kata adat mengandung konotasi netral maka ‘urf tidak demikian kata ‘urf digunakan dengan memandang pada kualitas berbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak dengan demikian kata ‘urf itu mengandung kata konotasi baik.

Adat istiadat merupakan aturan ciptaan manusia, berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang dipandang baik dalam mengatur cara hidup. Berpikir berbuat dan bertindak dari suatu masyarakat. Sebagai suatu nilai yang berkembang. Adat istiadat tentunya tidak bersifat statis. Adat istiadat itu bagaimanapun akan selalu mengikuti perkembangan hidup manusia itu sendiri.

Kesemua yang telah di kemukan di atas telah meresap kedalam bahasa Indonesia sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal istilah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerimaan hukum adat kedalam hukum Islam adalah bersifat universal, selama hukum adat itu tidak bertentangan dengan nash yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum Islam adalah hukum yang universal sehingga hukum islam itu berlaku bagi orang Islam dimanapun ia berada dan harus ditaati selama ia menyakini dan memeluk agama Islam itu sendiri.

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama keputusan kepala rakyat atau lembaga adat setempat. Dengan demikian dapat dilihat bahwa adat dalam keadaan yang sama, selalu diindahkan oleh rakyat dan secara berulang-ulang serta berkesinambungan, rakyat setia mentaati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hukum adat yang dilaksanakan berulang-ulang terdapat kenyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum dan menimbulkan kewajiban hukum. Maka corak dalam humu adat itu dapat dikatakan :
  1. Tradisonal
  2. Keagaaman
  3. Kebersamaan
  4. Kongkrit dan visual
  5. Terbuka dan sederhana
  6. Dapat berubah dan menyesuaikan
  7. Tidak dikodifikasi
  8. Musyawarah mufakat
Oleh karenanya sebagai generasi penerus dituntut untuk lebih memperhatikan apakah masih mau menggunakan hukum adat atau sudah meninggalkan warisan nenek moyang ini. Karena kelangsungan adat-istiadat itu tergantung dari generasi penerusnya, apakah mereka mau menggunakan atau malah melupakan sesuai dengan perkembangan zaman. Hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal dan menggunakan istilah adat. Setiap bangsa dengan bangsa lainnya dan perbedaan adat tersebut menjadikan adat sebagai identitas dari suatu bangsa.

Istilah Hukum Adat “adat recht” untuk pertama kali digunakan oleh Snouck Hurgronje untuk menunjukkan adat yang memiliki sanksi adat “die rechtsgevolget hebben” (yang berakibat hukum). Berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan atau pandangan-pandangan yang tidak mempunyai arti hukum. Demikian halnya menurut Ter Haar tidak semua adat istiadat adalah hukum adat, tetapi sebaliknya hukum adat adalah sebagian dari adat istiadat yang padanya telah ditambah sanksi atau sanksi adat “die rechtsgevolget hebben”. Mengenai pengertian hukum adat, telah banyak dibahas, salah satunya adalah rumusan yang dibuat oleh seminar hukum adat dan pembinaan Hukum Nasional Tahun 1975 di Yogyakarta yang berbunyi bahwa Hukum Adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bnetuk perundangan-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsur Agama. Terdapat pula beberapa pengertian hukum adat menurut para pakar antar lain: Ter haar Hukum Adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam putusan-putusan para pejabat hukum, yang mempunyai wibawa dan pengaruh. Serta dalam melaksanakannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh masyarakat. Pendapat Ter haar ini kemudian terkena dengan teori ‘keputusan” artinya untuk melihat suatu adat-istiadat sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat suatu penguasa masyarakat terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap si pelanggar maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat. Cornelis Van Vollen Hoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat, berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan. Soepomo Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara (parlemen, dewan provinsi, dan sebagaimya), hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan didalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun desa-desa (customary law) semua inilah yang merupakan adat atau hukum yang tidak tertulis sebagaimana disebut dalam Pasal 32 UUDS 1945.

Dalam Piots Sztimpka, Shils menegaskan, “manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka”. Berdasarkan itlah dapat dikatakan bahwa suatu tradisi itu memiliki fungsi bagi masyarakat, yaitu :
  1. Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-temurun. Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini untuk membangun masa depan.
  2. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada.
  3. Menyediakan simbol identitas kolektif yang menyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu.
  4. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan dan kekecewaan dan kehidupan modren. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat berada dalam krisis.
Adanya syariat tidak berupanya menghapuskan tardisi atau adat istiadat Islam menyaringi tradisi tersebut agar setiap nilai-nilai yang dianut dan diaktulisasikan oleh masyarakat setempat tidak bertolak belakang dengan syariat. Sebab tradisi yang dilakukan oleh setiap suku yang nota bene beragama Islam tidak boleh menyelisihi syariat. Karena kedudukan akal tidak akan pernah lebih utama dibandingkan Allah SWT. Inilah pemahaman yang esensi lagi krusial yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Keyakinan Islam sebagai agama universal dan mengatur segala sendi-sendi kehidupan bukan hanya pada hubungan transendental antara hamba dan Pencipta tetapi juga aspek hidup lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain sebagainya. Kadangkala pemahaman parsial inilah yang masih diyakini oleh ummat Islam. Oleh karena itu, sikap syariat Islam terhadap adat istiadat senantiasa mendahulukan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits dibanding adat atau tradisi. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 36:

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)

Pengertian Sedekah

Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shodaqoh yang secara bahasa berarti tindakan yang benar.Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajiban zakat disyariatkan dalam Al-Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah maka shadaqah mempunyai dua arti.Pertama, shadaqah sunah atau tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat).

Sedangkan secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah.Contoh memberikan sejumlah uang, beras atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak (pemberian atau sumbangan) termasuk dalam kategori sedekah.

Setiap orang muslim dianjurkan untuk melaksanakan sedekah bahkan nabi memerintahkan pelaksanaan sedekah tersebut setiap hari kepada seluruh umat islam tanpa terkecuali laki-laki tau perempuan.

Peran sedekah atau zakat dalam mengentaskan kemiskinan adalah peran yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya baik dalam kehidupan muslim maupun dalam kehidupan lainnya. Khalayak umum hanya mengetahui bahwasanya tujuan zakat adalah mengentaskan kemiskinan juga membantu para fakir miskin tanpa mengetahui gambarannya secara gamblang, nafkah yang dikeluarkan para kerabat yang mampu untuk membantu kerabat lainnya dan juga ada kas dibanyak negara islam yang dikeluarkan untuk hak atas harta yang dimiliki setelah dikeluarkan zakatnya. Selain itu, juga ada sedekah yang yang disunnahkan banyak lagi yang lainnya. Kesemuaitu selainadanyakewajiban zakat bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan juga melepaskan cengkramannya.

Sedekah adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain karena ingin mendapatkan pahala dari Allah. (Kitab at-Ta’riat, Syaikh Ali bin Muhammad al-Jurjani-Bab Ṣad) atau segala bentuk pembelanjaan di jalan Allah. Sementara Muhammad Abdurrauf al-Munawi mendefinisikan sedekah: suatu perbuatan yang akan tampak dengannya kebenaran iman (seseorang) terhadap yang ghaib dari sudut pandang bahwa rezeki itu sesuatu yang ghaib.

Makna sedekah mempunyai cakupan yang luas dari yang paling ringan seperti tersenyum, ucapan yang baik, salam kepada orang lain, hingga yang bersifat pribadi syahwat kepada istri.Ibnu Manzur dalam kitab Lisaanul Arab menjelaskan makna sedekah ditinjau dari segi bahasa adalah saddaqa’alaih maknanya adalah apa yang engkau berikan kepada kaum faqir karena Allah SWT. Adapun orang yang memberikan sedekah disebut al-Mutasaddiq. Dikatakan juga bahwa sedekah bersal dari as-Sidqu yang berarti benar, baik dalam perkataan maupun perbuatan, dikatan pula bahwa shadaqah atau sedekah bermakna a’ta yang berarti memberi. Menurut Athiyullah mengatakan dalam al-Qamus al-Islami, shadaqah dengan memfathahkan huruf yang pertama dan kedua adalah apa yang diberikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tanpa paksaan. Sedangkan menurut syar’i sedekah bermakna amal yang muncul dari hati yang penuh dengan iman yang benar, niat yang shahih dan bertujuan untuk mengharap ridha Allah SWT tanpa paksaan. Menurut al- Jurjani adalah pemberian yang diniatkan untuk mendapatkan pahala di sisi Allah SWT secara umum, makna sedekah meliputi seluruh amal kebajikan dan meninggalkan kemungkaran. Akan tetapi secara khusus sedekah berarti mengeluarkan harta dan memberikannyaa kepada yang berhak dengan mengharap ridha Allah SWT.

Sedekah sunah atau tathawwu’ adalah sedekah yang diberikan secara sukarela (tidak diwajibkan) kepada orang (misalnya orang yang miskin/pengemis), sedangkan sedekah wajib adalah zakat, kewajiban zakat dan penggunaanya telah dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an dalam surat At-Taubahayat 60:

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60).

Macam-Macam Sedekah

Sedekah Bumi

Upacara sedekah bumi banyak dilakukan oleh masyarakat di berbagai desa. Tujuan dari upacara ini pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada roh leluhur yang telah meninggal dunia, dan ketika masih hidup diyakini oleh masyarakat desa yang bersangkutan sebagai cikal bakal pendiri desa.

Roh leluhur itu biasa disebut danyang yang menempat di kuburan (pasareyan) khusus tempat pendiri desa itu dimakamkan, atau di kuburan umum bersama-sama warga masyarakat lainnya. Danyang diyakini yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa, dhusun atau kampung. Danyang tersebut berdiam di pohon-pohon beringian atau pohon besar dan telah berumur tua, di sendang-sendang atau belik, tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau atau tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya.

Agar dapat menarik simpati roh-roh yang berdiam ditempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halusseperti lembut, demit, dan jin yang diam di tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan.

Sedekah Laut

Beberapa daerah mengadakan sebuah tradisi semacam dengan sedekah bumi, terutama bagi masyarakat yang bertempat tinggal di tepi pantai sebagai masyarakat nelayan, karena sedekahan tersebut dilakukan di laut, maka disebut upacara sedekah laut.

Sadranan

Kata sadran menurut kamus bahasa Jawa kuno adalah krama ngoko dari kata ruwah, dan ruwah menjadi satu nama bulan menurut kalender Jawa yakni bulan sebelum bulan puasa (Ramadhan). Kalender Islam menyebutkan bulan Ruwah disebut Sa‟ban. Istilah dari kata sadran itulah muncul kata nyadran atau nyadranan, dan yang dimaksud adalah slametan atau sesaji, untuk para leluhur dikuburan atau juga tempat keramat sekaligus membersihkan tempat keramat tersebut serta mengirim kembang buat arwah leluhur yang biasa dilakukan pada bulan Ruwah.

Acara sadranan yang sudah ada sejak zaman dahulu difungsikan sebagai sarana pemujaan terhadap nenek moyang. Setelah ajaran Islam masuk ke pulau Jawa oleh para wali, tradisi tersebut tetap dilaksanakan, namun cara-caranya disesuaikan dengan ajaran dan do‟a-do‟a dalam agama Islam. Sadranan yang semula dilaksanakan di pemakaman, lalu dipindah ke masjid, mushola, atau rumah pinisepuh atau orang yang dituakan di kampong atau desa.

Tradisi tilik kubur atau besik yang dilakukan sebelum bulan puasa ini begitu melekat dan penuh makna di hati sebagian masyarakat Jawa.Meskipun mereka sudah merantau ke luar kota, bahkan ada yang sudah menetap di luar kota, mereka tetap berbondong-bondong pulang kampung untuk melaksanakan acara tilik kubur. Hal ini karena tradisi ini memang telah mendarah daging dan menjadi bagian dari acara slametan.

Sedekah Kematian

Sedekah kematian (istilah di dusun Pekodokan) di dalam sebuah buku disebut sebagai tradisi tahlilan (slametan kematian). Tahlilan sendiri memiliki pengertian, yaitu tahlil merupakan tradisi kaum Ahlussunnah Wal Jamaah yang selalu dilakukan untuk mendo‟akan orang yang telah mati. Apabila diantara kaum muslimin ada yang meninggal dunia, maka mereka berkumpul di rumah ahli mayit, kemudian secara bersama-sama membaca surat-surat pendek dari alQur‟an dan bacaan-bacaan tahlil, tasbih, dan shalawat, sehingga semua bacaan tersebut disebut sebagai tahlil.

Sedekah kematian adalah kegiatan tahlilan yang dilakukan untuk mendo‟akan orang yang telah meninggal. Selain itu sedekah kematian juga sebagai bentuk pemberian yang dilakukan oleh keluarga yangmelakukan acara sedekah kematian (keluarga dari orang yang telah meninggal dunia). Pemberian tersebut dimaksudkan agar mendapatkan pahala, dimana pahala tersebut diniatkan untuk diberikan pada orang yang telah meninggal. Pemberian tersebut biasanya berupa makanan yang telah matang atau masak dan biasanya ada makanan-makanan khusus yang harus ada di dalam sedekah tersebut. Jadi pemberian makanan tersebut adalah termasuk dalam rangkaian acara sedekah kematian yang biasanya diberikan setelah pembacaan tahlilan telah selesai. Jadi tradisi sedekah kematian adalah sebuah adat kebiasaan tahlilan untuk mendo‟akan orang yang telah meninggal yang telah dilakukan secara turun temurun dimana telah dianggap sebagi sesuatu yang baik dan benar.

Dasar Hukum Sedekah

Bersedekah berarti berbagi atau meringankan beban orang lain. Bersedekah sangat dianjurkan dalam islam. Dengan bersedekah, hubungan bersosial bisa menjadi lebih baik. Bersedaekah juga menjauhkan diri dari sikap sombong dan angkuh. Keutamaan bersedekah lainnya adalah menedapatkan pahala di sisi Allah SWT.

Dasar hukum disyariatkannya sedekah adalah sebagai berikut: Dalam surah Q.S. al-Baqarah ayat 177 :

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat-nya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya.” (QS. Al-Baqarah : 177).

Kemudian dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 245 dan ayat 195 : Ayat 245 :

Artinya : “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah : 245)

Artinya:“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah : 195)

Perbedaan antara Sedekah, Zakat, Wakaf, Infaq, Hibah dan Warisan

Sedekah

Sedekah secara terminologi berarti memberi yaitu pemberian sesuatu yang bersifat kebaikan karena gemar kepada ridha Allah SWT tanpa mengharapkan apa-apa. Pemberian ini tidak hanya kepada manusia tetapi pemberian kepada hewanpun sudah termasuk sedekah.

Sedekah bukan hanya dalam pemberian harta benda saja, tapi perbuatan baik juga termasuk sedekah. Sedekah cakupannya lebih luas bisa berupa harta atau yang tidak meliputi harta seperti memberikan senyuman, menyingkirkan batu dari jalan dan lain sebagainya.

Zakat

Zakat ditinjau dari segi bahasa memiliki banyakarti, yaitu al-barakatuyang mempunyai arti keberkahan,ath-thaharatu yang memiliki arti kesucian, al-namaayang mempunyai arti pertumbuhan dan perkembangan,dan ash-shalahu yang memiliki arti keberesan.Sedangkan zakat ditinjau dari segi istilah terdapat banyakulama’ yang mengemukakan dengan redaksi yangberbeda-beda , akan tetapi pada dasarnya mempunyaimaksud yang sama, yaitu bahwa zakat itu adalah bagiandari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWTmewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepadaseseorang yang berhak menerimanya, dengan persyaratantertentu pula.

Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga danAllah SWT mewajibkan untuk menunaikan zakat. Zakatdapat membersihkan pelakunya dari dosa danmenunjukan kebenaran imanya, adapun caranya denganmemberikan sebagian harta yang telah mencapai nishabdalam waktu satu tahun kepada orang yang berhakmenerimanya.

Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga darirukun Islam yang lima, yang merupakandasar ataupondasi bagi umat Islam untuk dilaksanakan. Zakathukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain) bagi setiap muslimapabila sudah memenuhi syarat-syarat yang telahditentukan syariat. Kewajiban zakat ini telah ditetapkanAllah SWT dalam al-Qur’an, Hadits, serta Ijma’.

Secara garis besar zakat terbagi menjadi dua, yaitu zakat jiwa (fitrah) dan zakat harta (mal). Zakat fitrah wajib dikeluarkan setiap muslim di bulan Ramadan atau sebelum melaksanakan salat Id di hari raya Idulfitri.

Wakaf

Wakaf berasal dari kata kerja bahasa Arab “Waqafa” yang berarti menahan atau berhenti. Yang dimaksud dengan “menahan” disini adalah yang berkenaan dengan harta benda dalam pandangan hukum Islam. Dikarenakan wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan, dihibahkan, diwariskan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Kemudian harta benda yang diwakafkan ini disebut dengan “mauquf”. Sedangkan orang yang mewakafkan disebut wakif, apabila dia menhan dari berjalan.

Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (pengelola wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Menurut Abdul Halim, wakaf adalah menghentikan manfaat dari harta yang dimiliki secara sah oleh pemilik yang asal mulanya diperbolehkan. Menghentikan dari segala yang diperbolehkan seperti menjual, mewariskan, menghibahkan dan lain sebagainya.

Secara istilah, wakaf adalah menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk keperluan ibadah atau masyarakat umum. Harta benda yang diwakafkan harus bersifat tidak bisa habis, agar bisa dimanfaatkan untuk jangka waktu panjang.

Beberapa contoh wakaf adalah tanah perkebunan, masjid, atau tanah kosong yang di atasnya didirikan gedung untuk kepentingan masyarakat luas dalam hal baik. Pemberian ini termasuk sedekah jariah, tidak putus pahalanya selama terus bermanfaat.Bentuk pemberian lain yang cukup sering kita dengar adalah wakaf. Biasanya berupa tanah kosong atau bangunan jadi yang diperuntukkan bagi masyarakat sekitarnya.

Sama seperti infak, wakaf juga bersifat sunah atau tidak wajib. Namun sangat dianjurkan bagi umat muslim seperti yang tercantum pada Alquran surat Ali Imran ayat 92:

Artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran : 92)

Infaq

Kata Infaq berasal dari kata anfaqo-yunfiqu , artinya membelanjakan atau membiayai, arti infaq menjadi khusus ketika dikaitkan dengan upayarealisasi perintah-perintah Allah. Dengan demikian Infaq hanya berkaitan dengan atau hanya dalam bentuk materi saja, adapun hukumnya ada yang wajib(termasuk zakat, nadzar),ada infaq sunnah, mubah bahkan ada yang haram.Dalam hal ini infaq hanya berkaitan dengan materi. Menurut kamus bahasa Indonesia Infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakatSedangkan menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagiandari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.

Oleh karena itu Infaq berbeda dengan zakat, infaq tidak mengenal nisab atau jumlah harta yang ditentukan secara hukum. Infaq tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada siapapun misalnya orangtua, kerabat, anak yatim, orang miskin, atau orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dengan demikian pengertian infaq adalah pengeluaran suka relayang di lakukan seseorang. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang sebaiknya diserahkan. setiap kali iamemperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya.

Infaq menurut etimologi adalah pemberian harta benda kepada orang lain yang akanhabis atas hilang dan terputus dari pemilikan orang yang memberi. Dengan ungkapan lain, sesuatu yang beralih ke tangan orang lain atau akan menjadi milik orang lain.Secara terminologi, pengertian infaq memiliki beberapabatasan, sebagai berikut :Infaq adalah mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.Infaq berarti mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan kemanusiaan sesuai dengan ajaran Islam.

Kata infaq adalah kata serapan dari bahasa Arab: al-infâq. Kata al-infâqadalah mashdar (gerund) dari kata anfaqa–yunfiqu–infâq[an]. Kata anfaqasendiri merupakan kata bentukan; asalnya nafaqa–yanfuqu–nafâq[an] yangartinya: nafada (habis), faniya (hilang/lenyap), berkurang, qalla (sedikit),dzahaba (pergi), kharaja (keluar). Karena itu, kata al-infâq secara bahasa biasberarti infâd (menghabiskan), ifnâ’ (pelenyapan/pemunahan), taqlîl(pengurangan), idzhâb (menyingkirkan) atau ikhrâj (pengeluaran).

Infak juga merupakan bentuk pemberian pada orang lain, namun hukumnya sunah bagi seluruh umat muslim. Makna istilah infak adalah membelanjakan harta untuk kebaikan.Anjuran untuk infak tercantum dalam Alquran surat Saba’ ayat 39 yang berbunyi:

Artinya:“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.”(QS. Saba’: 39)

Hibah

Kata hibah berasal dari akar kata wahaba - yahabu - hibatan,berartimemberi atau pemberian. Menurutistilah, hibah adalah kepemilikan sesuatu benda melalui transaksi akad tanpamengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masihhidup. Hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kecakapan dalammelakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain. Hibah jugadapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya.

Kata hibah juga berarti kebaikan atau keutamaan yang diberikan olehsuatu pihak kepada pihak yang lain berupa harta atau bukan. Menurut istilah ulama‟ fiqh, kata hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, menurut madzhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut madzhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. MadzhabSyafi‟i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umumadalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.

Hibah adalah pemberian harta milik seseorang pada saat masih hidup kepada orang lain. Hibah terjadi pada benda-benda yang mubah apapun. Mulai dari makanan, minuman, uang, baju, rumah, tanah dan lain sebagainya.

Warisan

Kata mawaris merupakan bentuk jamak dari mirast (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dimaknai dengan mauruts) merupakan harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan kepada para keluarga yang menjadi ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta pusaka tersebut dinamakan muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka disebut warist.

Muhammad Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa mawarits adalah: “Pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalnya itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum syara’.

Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara‟idh artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.

Ketentuan-ketentuan tentang pembagian harta pusaka atau peninggalan yang meliputi ketentuan tentang siapa yang berhak an tidak berhak menerima warisan dan berapa jumlah masinh-masing harta yang diterima.

Hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat, yaitu ayat-ayat al-Qur‟an, juga didasarkan kepada sunah Rasullah SAW. yaitu sebagai berikut surat an-Nisa’:7 yang berbunyi:

Artinya:”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak dan bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”(Q.S. al-Nisa: 7).

SUMBER :
  • Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah kaidah fiqh konseptual, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1980)
  • Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (terjemah). (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)
  • Djajuli, A, Kaidah-Kaidah Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
  • Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), (Jakarta: Pramadya Paramitha, 1981)
  • Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001)
  • Idris Djakfar Depati Agung dan Indra Idris, Hukum Waris Adat Kerinci, (Sungai Penuh: Pustaka Anda)
  • Zack Mulder, Darusuprapto.terj, Kamus Jawa Kuna Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet 5
  • Nanik Herawati, Mutiara Adat Jawa, (Klaten: PT Macanan Jaya,2010)
  • H. Mohammad Danial Royyan, Sejarah Tahlil Kumpulan Tahlil, Talqin, dan Ziarah Kubur dalam Sejarah dan agumentasinya (Kendal: Pustaka Amanah, 2013)
  • Didin Hafhiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta:Gema Insani Press, 2002)
  • Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. oleh Mahyuddin Syaf, Jilid 3, (Bandung: Al- Ma’rif, cet. Ke 6, 1988)
  • M. Abdul Ghofar, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, cet.Ke-4, 2010)
  • Masturi ilham, Nurhadi, Fikih Sunnah Wanita, (Jakarta: PustakaAl-kautsar, 2008)
  • Sayid Sabiq, Fikih Sunnah , Terj. oleh Mahyuddin Syaf, Jilid 3, (Bandung: Al- Ma’rif, , cet. Ke 6, 1988)
  • Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005)
  • Zallum, Abdul Qadim, Al Amwal fi Dawlatil Khilafah, cetakan I (Beirut, Darul Ilmi lil Malayin..1983)
  • Louis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, (Beirut Libanon: Dar al-Masyriq, tth)
  • Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)
  • Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari‟atil Islamiyah „ala Dhauil Kitab WasSunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,2007),Cet. Ke-10
      edit

0 comments:

Post a Comment