Tuesday, March 12, 2019

Published March 12, 2019 by with 0 comment

Orde lama, Baru, Reformasi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan. Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut.

UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR.

B. Rumusan Masalah
  1. Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
  2. Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Revew dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
  3. Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai sistem sumber Hukum ?
C. Tujuan
  1. Untuk mengetahui dan memahami Hal yang Dimaksud Rumusan Masalah di atas.

BAB II Rumusan masalah

A. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum

Pengantar Hukum Indonesia (PHI) merupakan terjemahan dari mata kuliah inleiding tot de recht sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS) atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia Belanda yang didirikan 1924 di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920. Di zaman kemerdekaan pertama kali menggunakan istilah “pengantar ilmu hokum .” adalah perguruan tinggi Gajah Mada yang didirikan di yogyakarta 13 maret 1946.Menurut Para Ahli sebagai berikut :

Menurut J.H.P. Bellefroid, “Hukum Positif” ialah suatu penyusunan hukum mengenai hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan oleh kuasa masyarakat tertentu, berlaku untuk masyarakat tertentu yang terbatas menurut tempat dan waktunya. Ius constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu.

Hukum positif atau “stellingsrecht” merupakan suatu kaidah yang berlaku sebenarnya, merumuskan suatu hubungan yang pantas antara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusankeputusan. Hukum Positif adalah hukum yang berlaku sungguh-sungguh; Hukum positif kemanusiaan yang berubah-ubah itu merupakan suatu tertib yang tegas untuk kebaikan umum; Hukum positif atau hukum “isbat” ialah hukum yang berlaku di dalam negara.

J.J.H. Bruggink di dalam bukunya “Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie” (Refleksi Hukum, Pengertian Dasar Teori Hukum) yang telah dialih bahasakan oleh Bernard Arief Sidharta dengan judul “Refleksi tentang Hukum” bahwa yang dimaksud “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan ini maka aturan hukum itu disebut hukum positif. Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dari bahasa Latin, yang secara harfiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”.

Hukum positif (ius positum) identik atau sama dengan Ius constitutum, artinya hukum yang telah dipilih atau ditentukan atau ditetapkan berlakunya untuk mengatur kehidupan di tempat tertentu pada waktu sekarang. Jika hukum itu masih di cita-citakan (ide) dan akan berlaku untuk waktu yang akan datang, disebut “ius constituendum” kebalikan dari “ius constitutum” atau “ius positum”.

Ius constitutum atau ius positum, selain berbeda dengan ius constituendum juga berbeda dengan konsep hukum menurut “hukum alam” atau “hukum kodrat” (ius naturale atau natural law) yang bersifat universal karena berlakunya tidak terbatas oleh waktu dan tempat. “Ius positum” atau “ius constitutum” atau disebut juga “ius operatum” artinya hukum yang telah ditetapkan atau dipositifkan (positum) atau dipilih atau ditentukan (constitutum) berlakunya sekarang (operatum) dalam masyarakat atau wilayah tertentu. Ius operatum mengandung arti bahwa hukum atau peraturan perundangundangan telah berlaku dan dilaksanakan di masyarakat.

Ius costituendum dapat menjadi ius constitutum atau ius positum atau ius operatumapabila sudah ditetapkan berlaku oleh penguasa yang berwenang, dan pemberlakuannya memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum positif lainnya yang mengatur pemberlakuan suatu hukum (undang-undang) ; misalnya perundang-undangan harus telah disahkan oleh lembaga pembuat undang-undang dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang.

Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa “Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri. Bangsa Indonesiapun mempunyai tata hukumnya sendiri, tata hukum Indonesia. Siapa yang mempelajari tata hukum Indonesia, maksudnya terutama ialah ingin mengetahui, perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajibankewajiban dan wewenang wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan pendek kata ia ingin mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam negara kesatuan Republik Indonesia”.

Achmad Sanusi menyatakan bahwa, istilah “Pengantar Tata Hukum Indonesia” merupakan pengantar ilmu hukum sebagai suatu sistem hukum positif di Indonesia. Selanjutnya dikemukakan bahwa, PTHI mempelajari konsep dan teori hukum yang berlaku di sini sesuai dengan bahan-bahan real dan ideal bangsa Indonesia.

Dari beberapa pengertian di atas, paling tidak dapat dipahami bahwa Pengantar Hukum Indonesia (PHI) artinya mengantarkan atau memberikan pedoman kepada mahasiswa untuk mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini. Berlaku artinya memberi akibat hukum bagi yang melanggarnya, akibat hukum adalah berupa sanksi. Seperti dijelaskan sebelumnya permasalahan definisi terletak pada permasalahan frasa hukum yang berlaku atau hukum positif atau ius constitutum. Apakah PIH tidak mempelajari hukum yang sudah tidak berlaku dan hukum yang dicita-citakan atau ius constituendum? Padahal apabila melihat buku-buku PIH banyak yang menjelaskan teori-teori atau asas-asas –apakah tidak masuk pada klasifikasi ius constituendum?- dan sejarah hukum yang sudah tidak berlaku atau perkembangan hukum. lalu, bagaimana pengertian PHI yang lebih baik?

B. Hubungan Pengantar Hukum Indonesia Dan Pengantar Ilmu Hukum

Persamaan Pengantar Ilmu Hukum dengan Pengantar Hukum Indonesia :
  1. PHI dan PIH sama-sama merupakan mata kuliah prasyarat dan pengantar atau sebagai mata kuliah dasar (basis leervakken) bagi mata kuliah atau studi lanjut tentang “Hukum” (cabang-cabang hukum positif). Oleh karena itu, PIH dan PHI bukan mata kuliah jurusan atau pilihan. 
  2. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
  3. Objek studi PIH dan PHI adalah “hukum”. PIH dan PHI memperkenalkan konsep-konsep dasar, pengertian-pengertian hukum, dan generalisasi-generalisasi tentang hukum dan teori hukum positif (dogmatik hukum)yang secara umum dapat diaplikasikan.
  4. PIH dan PHI memperkenalkan hukum sebagai suatu kerangka yang menyeluruh, yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, sehingga orang dapat memperoleh suatu overzicht atau suatu pemahaman yang umum dan lengkap tentang hukum. PIH dan PHI menyajikan satu ringkasan yang komprehensif dari konsep atau teori hukum dalam keseluruhan.
  5. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
Perbedaan Pengantar Ilmu Hukum Dengan Pengantar Hukum Indonesia:
  1. PHI atau Inleiding tot het positiefrecht van Indonesie (bahasa Belanda) atau Introduction Indonesian of Law atau Introduction Indonesian Positive Law (bahasa Inggris) mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum).
  2. PIH atau Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa Belanda) atau Introduction of Jurisprudence atau Introduction science of Law (bahasa Inggris) merupakan pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine rechtslehre).
  3. PIH mempelajari ilmu hukum secara umum dengan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar tentang hukum pada umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi yang berlaku pada masyarakat hukum lainnya.
  4. PIH mempelajari dan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar serta teori-teori hukum secara umum, termasuk mengenai sejarah terbentuknya lembaga-lembaga hukum maupun pengantar falsafahnya dalam arti kerohanian kemasyarakatan.
Kesimpulannya PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar hukum secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan. Sedangkan PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-pengertian dasar dan sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum, aturan-aturan hukum serta teori hukum positif Indonesia.

C. Tujuan Mempelajari Pengantar Hukum Indonesia

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tentang tujuan dari belajar hukum itu ialah:
  1. Ingin mengetahui peraturan‐peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum.
  2. Ingin mengetahui perbuatan‐perbuatan mana yang menurut hukum, dan perbuatanperbuatanmana yang melanggar hukum.
  3. Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dankewajibannya.
  4. Ingin mengetahui sanksi‐sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebutmelanggar peraturan yang berlaku.Samidjo, mengatakan bahwa tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah mempelajarihukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu hukum
  5. Mempelajari pengantar hukum Indonesia adalah agar mengerti dan memahami sistematika dan susunan hukum yang berlaku di indonesia termasuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib dikalangan anggota masyarakat dan peraturan-peraturan yang diadakan oleh Negara

D. Sejarah Tata Hukum Indonesia

1. Masa voc(1602-1799)

Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula IEC yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasionalpertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam Negara.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral Pierter Both untuk membuat peraturan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai. Peraturan yang dibuat Gubernur Jendral itu,kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh direksi VOC di belanda dengan nama “Heeren Zeventien”, setelah penyusunan selesai, maka pada tahun 1642 diumumkan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan nama “Statuta Van Batavia”. Sampai berakhirnya VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13 Desember 1799, tidak ada aturan hukum lain yang berlaku kecuali yang disebutkan tadi.

2. Pemerintahan Hindia-Belanda

Pada tanggal 1 Januari 1800 daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itu kepulauan di Nusantara mengalami penjajahan pemerintah Belanda dengan menjalankan peraturan-peraturan pemerintahan dan hukum yang berpedoman pada aturan di Negeri Belanda. Untuk mengurusi nusantara, saat itu raja/ratu Belanda mengutus Gubernur Jendral yang bernama Herman Willam Deandels untuk mengurusi daerah jajahan di Nusantara. Pada masa pemerintahanya, Deandels membagi Pulau Jawa menjadi 9 Keresidenan, dan menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah Belanda dengan menerima gaji.

Pada tahun 1811 Deandels, diganti oleh Jensens yang tidak lama lama memerintah karena pada tahun itu juga kepulauan di Nusantara dikuasai oleh Inggris dan pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffle sebagai Letnan Gubernur. Kemudian dalam pemerintahanya Raffles mengubah Jawa menjadi 19 Karesidenan dan kekuasaan Bupati dikurangi. Saat itu seluruh rakyat dibebani Pajak Bumi (landrente). Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan system pengadilan yang di-konkordasi-kan susunanya seperti pengadilan di India yang terdiri dari :
  1. Divious cor’t. terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atauDemang dan pegawai bawahanya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggaran kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepadaBupati’s Court.
  2. Resident’s cort. Terdiri dari Residen, Bupati, Hooft Jaksa, Hooft Penghulu. Wewenangnya mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang melebihi 50 ropyen.
  3. Distric courts. Terdiri dari Bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa, dan beberapa pegawai Bumiputera. Wewenangnya mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, Bupati meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada kesesuaian pendapat, maka perkaranya harus diajukan kepada Resident’s Court
  4. Courts of circuits. Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai pengadilan keliling dalam mengangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut system juri yang terdiri dari 5 sampai 9 orang bumiputera.
Sebagai hasil dari konvensi London pada tanggal 17 Maret 1814, maka Inggris menyerahkan kembali kepulauan Nusantara kepada Belanda. Sejak saat itu seluruh tata pemerintahan dan tata hukum diatur dengan baik. Dan sejarah perundangan-undangan yang berlaku

3. Pendudukan Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang.Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai memperoleh penghormatan dari Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalamisiksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan bala tentara Jepang berpedoman pada undang-undang yang disebut “Gunseirei”. Setiap peraturan yang dibuat demi kepentingan di Jawa dan Madura berpedomankan pada Gunseireimelalui “Osamu Seirei”. Dan “Osamu Seirei” itu diperlukan untuk mengatur segala yang dibutuhkan oleh pemerintahan melalui peraturan pelaksana yang disebut “Osamu Kenrei”.

4. Fase Kemerdekaan

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kotaHiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atasNagasaki sehingga menyebabkan dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai Negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan wadah organisasi bangsa demi melaksanakan dan mengisi kemerdekaanya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia menetapkan dan memberlakukan UUD yang merupakan hasil dari perumusan dan penyelidikan bangsa Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (atau dalambahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai), yakni sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 sebagai janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dikemudian hari. Dan setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan UUD itu ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan UUD 1945. Selama kemerdekaanya bangsa Indonesia mengalami pasang-sarut dalam menjalankan roda pemerintahanya yang dimana hal ini berpengaruh pada dinamika politik hukum di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada politik hukum Indonesia dapat di golongkan menjadi 3 masa, yaitu :

1. Orde lama

Masa pemerintahan orde lama dibawah pimpinan Presiden Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden yang ditetapkan secara aklamasi oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Sejak saat itu tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atas subsistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Dalam menjalankan roda pemerintahanya orde lama mengalami dinamika politik yang mempengaruhi kebijakan politik hukum pada saat itu, hal itu dapat diklasifikasikan menjadi 3 periode, yakni :
  • 1945-1950. Perubahan penting dalam pelaksanaan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan kedalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dengan menunjukan hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan dengan UU no. 7 tahun 1947 tentang organisasi dan kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian diintegrasikan ke dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Yang pada dasarnya merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Balatentara Jepang, dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif.
  • 1950-1959. Setelah berlakunya UUDS 1950, pemerintah melakukan berbagai pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu pembenahan yang dianggap keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, juga pemerintah berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terbetuknya badan Konstituante. Pada periode ini langkah penting dalam bidang penyelenggaraan hukum adalah diberlakukanya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, Kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Pada UU ini kedudukan hakim setara dengan penuntut umum.
  • 1959-1965. Perkembangan politik hukum pada masa ini adalah dengan dikeluarkanya dekret pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, oleh Presiden Soekarno yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.Isi dari Dekret tersebut antara lain: Produk perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam partumbuhan tata hukum di Indonesia adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sekaligus menyatakan sebagian besar Pasal-pasal yang tercantum dalam buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi[20].
2. Orde Baru

Setelah kudeta G30S/PKI berhasil digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Supersemar”, maka dimulailah babak baru dalam kehidupan sejarah bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai pemerintahan Orde Baru. Yang dimana pemerintahan Orde Baru berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Demi mewujudkan hal tersebut diciptakanlah berbagai produk UU untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai konsekuensi pemerintahan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka dibuatlah susunan perundang-undangan (Hirarki) sebagai berikut : 
  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Ketetapan MPR
  • Undang-Undang/Perpu
  • Keputusan Presiden Peraturan lain nya
3. Orde Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan untuk mengundurkan diri dari jabatanya sebagai presiden RI, peristiwa ini menandakan berakhirnya masa Orde Baru sekaligus lahirnya era baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, masa ini kemudian dikenal dengan sebutan Orde Reformasi. Keberhasilan Reformasi politik, terbukti dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945), maka politik hukum yang terpenting pada Orde Reformasi adalah diambilnya keputusan politik untuk merubah UUD 1945. Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebanyak 4 kali, sejak tahun 1999-2002. Dengan demikian komposisi UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut, disahkan pada perubahan keempat oleh MPR pada sidang Tahuan MPR tahun 2002. Maka UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut memiliki susunan sebagai berikut : 1.Undang-Undang 1945 Naskah Asli 2.Peruban Pertama Undang-Undang 1945 3.Perubah Kedua Undang-Undang 1945 4.Perubah ketiga Undang-Undang 1945 5.Perubahan Ke Empat Undang-Undang 1945

Bab III Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi ldmbaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.

TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.

Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945.

Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.

B. Saran

Dengan makalah tersebut diharapkan,bagi pembaca atau pendengar dapat memahami arti penting pengantar hukum indonesia,mencakup seluruh aspek baik unsur,tujuan,dan fungsi Negara, serta keterkaitan antara Negara dan agama, sehingga pembaca atau pendengar mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu unsur terbentuknya sebuah Negara.Misalnya : ikut memberikan haknya dengan memberikan suara saat pemilu berlangsung, mengeluarkan aspirasi atau pendapat melalui forum yang ada dan lain sebagainya.Bagi penulis di harapkan tidak hanya mampu menulis tetapi dapat melaksanakan seperti apa yang ada di dalam makalah ini.Kami menyadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan atau pembahasan.Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demiperbaikan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
  • Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006;
  • Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;
  • Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010;
  • Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;
  • Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999;
  • Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;
  • Purbacaraka, Purnadi dan Soekamto, Soerjono, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993;
  • Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009;
Read More
      edit
Published March 12, 2019 by with 0 comment

Orde lama, Baru, Reformasi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan. Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut.

UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR.

B. Rumusan Masalah
  1. Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
  2. Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Revew dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
  3. Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai sistem sumber Hukum ?
C. Tujuan
  1. Untuk mengetahui dan memahami Hal yang Dimaksud Rumusan Masalah di atas.

BAB II Rumusan masalah

A. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum

Pengantar Hukum Indonesia (PHI) merupakan terjemahan dari mata kuliah inleiding tot de recht sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS) atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia Belanda yang didirikan 1924 di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920. Di zaman kemerdekaan pertama kali menggunakan istilah “pengantar ilmu hokum .” adalah perguruan tinggi Gajah Mada yang didirikan di yogyakarta 13 maret 1946.Menurut Para Ahli sebagai berikut :

Menurut J.H.P. Bellefroid, “Hukum Positif” ialah suatu penyusunan hukum mengenai hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan oleh kuasa masyarakat tertentu, berlaku untuk masyarakat tertentu yang terbatas menurut tempat dan waktunya. Ius constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu.

Hukum positif atau “stellingsrecht” merupakan suatu kaidah yang berlaku sebenarnya, merumuskan suatu hubungan yang pantas antara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusankeputusan. Hukum Positif adalah hukum yang berlaku sungguh-sungguh; Hukum positif kemanusiaan yang berubah-ubah itu merupakan suatu tertib yang tegas untuk kebaikan umum; Hukum positif atau hukum “isbat” ialah hukum yang berlaku di dalam negara.

J.J.H. Bruggink di dalam bukunya “Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie” (Refleksi Hukum, Pengertian Dasar Teori Hukum) yang telah dialih bahasakan oleh Bernard Arief Sidharta dengan judul “Refleksi tentang Hukum” bahwa yang dimaksud “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan ini maka aturan hukum itu disebut hukum positif. Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dari bahasa Latin, yang secara harfiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”.

Hukum positif (ius positum) identik atau sama dengan Ius constitutum, artinya hukum yang telah dipilih atau ditentukan atau ditetapkan berlakunya untuk mengatur kehidupan di tempat tertentu pada waktu sekarang. Jika hukum itu masih di cita-citakan (ide) dan akan berlaku untuk waktu yang akan datang, disebut “ius constituendum” kebalikan dari “ius constitutum” atau “ius positum”.

Ius constitutum atau ius positum, selain berbeda dengan ius constituendum juga berbeda dengan konsep hukum menurut “hukum alam” atau “hukum kodrat” (ius naturale atau natural law) yang bersifat universal karena berlakunya tidak terbatas oleh waktu dan tempat. “Ius positum” atau “ius constitutum” atau disebut juga “ius operatum” artinya hukum yang telah ditetapkan atau dipositifkan (positum) atau dipilih atau ditentukan (constitutum) berlakunya sekarang (operatum) dalam masyarakat atau wilayah tertentu. Ius operatum mengandung arti bahwa hukum atau peraturan perundangundangan telah berlaku dan dilaksanakan di masyarakat.

Ius costituendum dapat menjadi ius constitutum atau ius positum atau ius operatumapabila sudah ditetapkan berlaku oleh penguasa yang berwenang, dan pemberlakuannya memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum positif lainnya yang mengatur pemberlakuan suatu hukum (undang-undang) ; misalnya perundang-undangan harus telah disahkan oleh lembaga pembuat undang-undang dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang.

Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa “Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri. Bangsa Indonesiapun mempunyai tata hukumnya sendiri, tata hukum Indonesia. Siapa yang mempelajari tata hukum Indonesia, maksudnya terutama ialah ingin mengetahui, perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajibankewajiban dan wewenang wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan pendek kata ia ingin mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam negara kesatuan Republik Indonesia”.

Achmad Sanusi menyatakan bahwa, istilah “Pengantar Tata Hukum Indonesia” merupakan pengantar ilmu hukum sebagai suatu sistem hukum positif di Indonesia. Selanjutnya dikemukakan bahwa, PTHI mempelajari konsep dan teori hukum yang berlaku di sini sesuai dengan bahan-bahan real dan ideal bangsa Indonesia.

Dari beberapa pengertian di atas, paling tidak dapat dipahami bahwa Pengantar Hukum Indonesia (PHI) artinya mengantarkan atau memberikan pedoman kepada mahasiswa untuk mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini. Berlaku artinya memberi akibat hukum bagi yang melanggarnya, akibat hukum adalah berupa sanksi. Seperti dijelaskan sebelumnya permasalahan definisi terletak pada permasalahan frasa hukum yang berlaku atau hukum positif atau ius constitutum. Apakah PIH tidak mempelajari hukum yang sudah tidak berlaku dan hukum yang dicita-citakan atau ius constituendum? Padahal apabila melihat buku-buku PIH banyak yang menjelaskan teori-teori atau asas-asas –apakah tidak masuk pada klasifikasi ius constituendum?- dan sejarah hukum yang sudah tidak berlaku atau perkembangan hukum. lalu, bagaimana pengertian PHI yang lebih baik?

B. Hubungan Pengantar Hukum Indonesia Dan Pengantar Ilmu Hukum

Persamaan Pengantar Ilmu Hukum dengan Pengantar Hukum Indonesia :
  1. PHI dan PIH sama-sama merupakan mata kuliah prasyarat dan pengantar atau sebagai mata kuliah dasar (basis leervakken) bagi mata kuliah atau studi lanjut tentang “Hukum” (cabang-cabang hukum positif). Oleh karena itu, PIH dan PHI bukan mata kuliah jurusan atau pilihan. 
  2. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
  3. Objek studi PIH dan PHI adalah “hukum”. PIH dan PHI memperkenalkan konsep-konsep dasar, pengertian-pengertian hukum, dan generalisasi-generalisasi tentang hukum dan teori hukum positif (dogmatik hukum)yang secara umum dapat diaplikasikan.
  4. PIH dan PHI memperkenalkan hukum sebagai suatu kerangka yang menyeluruh, yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, sehingga orang dapat memperoleh suatu overzicht atau suatu pemahaman yang umum dan lengkap tentang hukum. PIH dan PHI menyajikan satu ringkasan yang komprehensif dari konsep atau teori hukum dalam keseluruhan.
  5. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
Perbedaan Pengantar Ilmu Hukum Dengan Pengantar Hukum Indonesia:
  1. PHI atau Inleiding tot het positiefrecht van Indonesie (bahasa Belanda) atau Introduction Indonesian of Law atau Introduction Indonesian Positive Law (bahasa Inggris) mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum).
  2. PIH atau Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa Belanda) atau Introduction of Jurisprudence atau Introduction science of Law (bahasa Inggris) merupakan pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine rechtslehre).
  3. PIH mempelajari ilmu hukum secara umum dengan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar tentang hukum pada umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi yang berlaku pada masyarakat hukum lainnya.
  4. PIH mempelajari dan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar serta teori-teori hukum secara umum, termasuk mengenai sejarah terbentuknya lembaga-lembaga hukum maupun pengantar falsafahnya dalam arti kerohanian kemasyarakatan.
Kesimpulannya PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar hukum secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan. Sedangkan PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-pengertian dasar dan sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum, aturan-aturan hukum serta teori hukum positif Indonesia.

C. Tujuan Mempelajari Pengantar Hukum Indonesia

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tentang tujuan dari belajar hukum itu ialah:
  1. Ingin mengetahui peraturan‐peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum.
  2. Ingin mengetahui perbuatan‐perbuatan mana yang menurut hukum, dan perbuatanperbuatanmana yang melanggar hukum.
  3. Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dankewajibannya.
  4. Ingin mengetahui sanksi‐sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebutmelanggar peraturan yang berlaku.Samidjo, mengatakan bahwa tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah mempelajarihukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu hukum
  5. Mempelajari pengantar hukum Indonesia adalah agar mengerti dan memahami sistematika dan susunan hukum yang berlaku di indonesia termasuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib dikalangan anggota masyarakat dan peraturan-peraturan yang diadakan oleh Negara

D. Sejarah Tata Hukum Indonesia

1. Masa voc(1602-1799)

Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula IEC yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasionalpertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam Negara.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral Pierter Both untuk membuat peraturan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai. Peraturan yang dibuat Gubernur Jendral itu,kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh direksi VOC di belanda dengan nama “Heeren Zeventien”, setelah penyusunan selesai, maka pada tahun 1642 diumumkan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan nama “Statuta Van Batavia”. Sampai berakhirnya VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13 Desember 1799, tidak ada aturan hukum lain yang berlaku kecuali yang disebutkan tadi.

2. Pemerintahan Hindia-Belanda

Pada tanggal 1 Januari 1800 daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itu kepulauan di Nusantara mengalami penjajahan pemerintah Belanda dengan menjalankan peraturan-peraturan pemerintahan dan hukum yang berpedoman pada aturan di Negeri Belanda. Untuk mengurusi nusantara, saat itu raja/ratu Belanda mengutus Gubernur Jendral yang bernama Herman Willam Deandels untuk mengurusi daerah jajahan di Nusantara. Pada masa pemerintahanya, Deandels membagi Pulau Jawa menjadi 9 Keresidenan, dan menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah Belanda dengan menerima gaji.

Pada tahun 1811 Deandels, diganti oleh Jensens yang tidak lama lama memerintah karena pada tahun itu juga kepulauan di Nusantara dikuasai oleh Inggris dan pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffle sebagai Letnan Gubernur. Kemudian dalam pemerintahanya Raffles mengubah Jawa menjadi 19 Karesidenan dan kekuasaan Bupati dikurangi. Saat itu seluruh rakyat dibebani Pajak Bumi (landrente). Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan system pengadilan yang di-konkordasi-kan susunanya seperti pengadilan di India yang terdiri dari :
  1. Divious cor’t. terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atauDemang dan pegawai bawahanya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggaran kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepadaBupati’s Court.
  2. Resident’s cort. Terdiri dari Residen, Bupati, Hooft Jaksa, Hooft Penghulu. Wewenangnya mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang melebihi 50 ropyen.
  3. Distric courts. Terdiri dari Bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa, dan beberapa pegawai Bumiputera. Wewenangnya mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, Bupati meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada kesesuaian pendapat, maka perkaranya harus diajukan kepada Resident’s Court
  4. Courts of circuits. Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai pengadilan keliling dalam mengangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut system juri yang terdiri dari 5 sampai 9 orang bumiputera.
Sebagai hasil dari konvensi London pada tanggal 17 Maret 1814, maka Inggris menyerahkan kembali kepulauan Nusantara kepada Belanda. Sejak saat itu seluruh tata pemerintahan dan tata hukum diatur dengan baik. Dan sejarah perundangan-undangan yang berlaku

3. Pendudukan Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang.Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai memperoleh penghormatan dari Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalamisiksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan bala tentara Jepang berpedoman pada undang-undang yang disebut “Gunseirei”. Setiap peraturan yang dibuat demi kepentingan di Jawa dan Madura berpedomankan pada Gunseireimelalui “Osamu Seirei”. Dan “Osamu Seirei” itu diperlukan untuk mengatur segala yang dibutuhkan oleh pemerintahan melalui peraturan pelaksana yang disebut “Osamu Kenrei”.

4. Fase Kemerdekaan

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kotaHiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atasNagasaki sehingga menyebabkan dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai Negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan wadah organisasi bangsa demi melaksanakan dan mengisi kemerdekaanya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia menetapkan dan memberlakukan UUD yang merupakan hasil dari perumusan dan penyelidikan bangsa Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (atau dalambahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai), yakni sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 sebagai janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dikemudian hari. Dan setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan UUD itu ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan UUD 1945. Selama kemerdekaanya bangsa Indonesia mengalami pasang-sarut dalam menjalankan roda pemerintahanya yang dimana hal ini berpengaruh pada dinamika politik hukum di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada politik hukum Indonesia dapat di golongkan menjadi 3 masa, yaitu :

1. Orde lama

Masa pemerintahan orde lama dibawah pimpinan Presiden Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden yang ditetapkan secara aklamasi oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Sejak saat itu tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atas subsistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Dalam menjalankan roda pemerintahanya orde lama mengalami dinamika politik yang mempengaruhi kebijakan politik hukum pada saat itu, hal itu dapat diklasifikasikan menjadi 3 periode, yakni :
  • 1945-1950. Perubahan penting dalam pelaksanaan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan kedalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dengan menunjukan hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan dengan UU no. 7 tahun 1947 tentang organisasi dan kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian diintegrasikan ke dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Yang pada dasarnya merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Balatentara Jepang, dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif.
  • 1950-1959. Setelah berlakunya UUDS 1950, pemerintah melakukan berbagai pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu pembenahan yang dianggap keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, juga pemerintah berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terbetuknya badan Konstituante. Pada periode ini langkah penting dalam bidang penyelenggaraan hukum adalah diberlakukanya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, Kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Pada UU ini kedudukan hakim setara dengan penuntut umum.
  • 1959-1965. Perkembangan politik hukum pada masa ini adalah dengan dikeluarkanya dekret pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, oleh Presiden Soekarno yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.Isi dari Dekret tersebut antara lain: Produk perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam partumbuhan tata hukum di Indonesia adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sekaligus menyatakan sebagian besar Pasal-pasal yang tercantum dalam buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi[20].
2. Orde Baru

Setelah kudeta G30S/PKI berhasil digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Supersemar”, maka dimulailah babak baru dalam kehidupan sejarah bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai pemerintahan Orde Baru. Yang dimana pemerintahan Orde Baru berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Demi mewujudkan hal tersebut diciptakanlah berbagai produk UU untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai konsekuensi pemerintahan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka dibuatlah susunan perundang-undangan (Hirarki) sebagai berikut : 
  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Ketetapan MPR
  • Undang-Undang/Perpu
  • Keputusan Presiden Peraturan lain nya
3. Orde Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan untuk mengundurkan diri dari jabatanya sebagai presiden RI, peristiwa ini menandakan berakhirnya masa Orde Baru sekaligus lahirnya era baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, masa ini kemudian dikenal dengan sebutan Orde Reformasi. Keberhasilan Reformasi politik, terbukti dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945), maka politik hukum yang terpenting pada Orde Reformasi adalah diambilnya keputusan politik untuk merubah UUD 1945. Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebanyak 4 kali, sejak tahun 1999-2002. Dengan demikian komposisi UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut, disahkan pada perubahan keempat oleh MPR pada sidang Tahuan MPR tahun 2002. Maka UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut memiliki susunan sebagai berikut : 1.Undang-Undang 1945 Naskah Asli 2.Peruban Pertama Undang-Undang 1945 3.Perubah Kedua Undang-Undang 1945 4.Perubah ketiga Undang-Undang 1945 5.Perubahan Ke Empat Undang-Undang 1945

Bab III Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi ldmbaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.

TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.

Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945.

Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.

B. Saran

Dengan makalah tersebut diharapkan,bagi pembaca atau pendengar dapat memahami arti penting pengantar hukum indonesia,mencakup seluruh aspek baik unsur,tujuan,dan fungsi Negara, serta keterkaitan antara Negara dan agama, sehingga pembaca atau pendengar mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu unsur terbentuknya sebuah Negara.Misalnya : ikut memberikan haknya dengan memberikan suara saat pemilu berlangsung, mengeluarkan aspirasi atau pendapat melalui forum yang ada dan lain sebagainya.Bagi penulis di harapkan tidak hanya mampu menulis tetapi dapat melaksanakan seperti apa yang ada di dalam makalah ini.Kami menyadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan atau pembahasan.Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demiperbaikan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
  • Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006;
  • Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;
  • Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010;
  • Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;
  • Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999;
  • Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;
  • Purbacaraka, Purnadi dan Soekamto, Soerjono, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993;
  • Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009;
Read More
      edit
Published March 12, 2019 by with 0 comment

Fase Kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan. Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut.

UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR.

B. Rumusan Masalah
  1. Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
  2. Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Revew dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
  3. Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai sistem sumber Hukum ?
C. Tujuan
  1. Untuk mengetahui dan memahami Hal yang Dimaksud Rumusan Masalah di atas.

BAB II Rumusan masalah

A. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum

Pengantar Hukum Indonesia (PHI) merupakan terjemahan dari mata kuliah inleiding tot de recht sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS) atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia Belanda yang didirikan 1924 di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920. Di zaman kemerdekaan pertama kali menggunakan istilah “pengantar ilmu hokum .” adalah perguruan tinggi Gajah Mada yang didirikan di yogyakarta 13 maret 1946.Menurut Para Ahli sebagai berikut :

Menurut J.H.P. Bellefroid, “Hukum Positif” ialah suatu penyusunan hukum mengenai hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan oleh kuasa masyarakat tertentu, berlaku untuk masyarakat tertentu yang terbatas menurut tempat dan waktunya. Ius constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu.

Hukum positif atau “stellingsrecht” merupakan suatu kaidah yang berlaku sebenarnya, merumuskan suatu hubungan yang pantas antara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusankeputusan. Hukum Positif adalah hukum yang berlaku sungguh-sungguh; Hukum positif kemanusiaan yang berubah-ubah itu merupakan suatu tertib yang tegas untuk kebaikan umum; Hukum positif atau hukum “isbat” ialah hukum yang berlaku di dalam negara.

J.J.H. Bruggink di dalam bukunya “Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie” (Refleksi Hukum, Pengertian Dasar Teori Hukum) yang telah dialih bahasakan oleh Bernard Arief Sidharta dengan judul “Refleksi tentang Hukum” bahwa yang dimaksud “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan ini maka aturan hukum itu disebut hukum positif. Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dari bahasa Latin, yang secara harfiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”.

Hukum positif (ius positum) identik atau sama dengan Ius constitutum, artinya hukum yang telah dipilih atau ditentukan atau ditetapkan berlakunya untuk mengatur kehidupan di tempat tertentu pada waktu sekarang. Jika hukum itu masih di cita-citakan (ide) dan akan berlaku untuk waktu yang akan datang, disebut “ius constituendum” kebalikan dari “ius constitutum” atau “ius positum”.

Ius constitutum atau ius positum, selain berbeda dengan ius constituendum juga berbeda dengan konsep hukum menurut “hukum alam” atau “hukum kodrat” (ius naturale atau natural law) yang bersifat universal karena berlakunya tidak terbatas oleh waktu dan tempat. “Ius positum” atau “ius constitutum” atau disebut juga “ius operatum” artinya hukum yang telah ditetapkan atau dipositifkan (positum) atau dipilih atau ditentukan (constitutum) berlakunya sekarang (operatum) dalam masyarakat atau wilayah tertentu. Ius operatum mengandung arti bahwa hukum atau peraturan perundangundangan telah berlaku dan dilaksanakan di masyarakat.

Ius costituendum dapat menjadi ius constitutum atau ius positum atau ius operatumapabila sudah ditetapkan berlaku oleh penguasa yang berwenang, dan pemberlakuannya memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum positif lainnya yang mengatur pemberlakuan suatu hukum (undang-undang) ; misalnya perundang-undangan harus telah disahkan oleh lembaga pembuat undang-undang dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang.

Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa “Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri. Bangsa Indonesiapun mempunyai tata hukumnya sendiri, tata hukum Indonesia. Siapa yang mempelajari tata hukum Indonesia, maksudnya terutama ialah ingin mengetahui, perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajibankewajiban dan wewenang wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan pendek kata ia ingin mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam negara kesatuan Republik Indonesia”.

Achmad Sanusi menyatakan bahwa, istilah “Pengantar Tata Hukum Indonesia” merupakan pengantar ilmu hukum sebagai suatu sistem hukum positif di Indonesia. Selanjutnya dikemukakan bahwa, PTHI mempelajari konsep dan teori hukum yang berlaku di sini sesuai dengan bahan-bahan real dan ideal bangsa Indonesia.

Dari beberapa pengertian di atas, paling tidak dapat dipahami bahwa Pengantar Hukum Indonesia (PHI) artinya mengantarkan atau memberikan pedoman kepada mahasiswa untuk mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini. Berlaku artinya memberi akibat hukum bagi yang melanggarnya, akibat hukum adalah berupa sanksi. Seperti dijelaskan sebelumnya permasalahan definisi terletak pada permasalahan frasa hukum yang berlaku atau hukum positif atau ius constitutum. Apakah PIH tidak mempelajari hukum yang sudah tidak berlaku dan hukum yang dicita-citakan atau ius constituendum? Padahal apabila melihat buku-buku PIH banyak yang menjelaskan teori-teori atau asas-asas –apakah tidak masuk pada klasifikasi ius constituendum?- dan sejarah hukum yang sudah tidak berlaku atau perkembangan hukum. lalu, bagaimana pengertian PHI yang lebih baik?

B. Hubungan Pengantar Hukum Indonesia Dan Pengantar Ilmu Hukum

Persamaan Pengantar Ilmu Hukum dengan Pengantar Hukum Indonesia :
  1. PHI dan PIH sama-sama merupakan mata kuliah prasyarat dan pengantar atau sebagai mata kuliah dasar (basis leervakken) bagi mata kuliah atau studi lanjut tentang “Hukum” (cabang-cabang hukum positif). Oleh karena itu, PIH dan PHI bukan mata kuliah jurusan atau pilihan. 
  2. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
  3. Objek studi PIH dan PHI adalah “hukum”. PIH dan PHI memperkenalkan konsep-konsep dasar, pengertian-pengertian hukum, dan generalisasi-generalisasi tentang hukum dan teori hukum positif (dogmatik hukum)yang secara umum dapat diaplikasikan.
  4. PIH dan PHI memperkenalkan hukum sebagai suatu kerangka yang menyeluruh, yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, sehingga orang dapat memperoleh suatu overzicht atau suatu pemahaman yang umum dan lengkap tentang hukum. PIH dan PHI menyajikan satu ringkasan yang komprehensif dari konsep atau teori hukum dalam keseluruhan.
  5. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
Perbedaan Pengantar Ilmu Hukum Dengan Pengantar Hukum Indonesia:
  1. PHI atau Inleiding tot het positiefrecht van Indonesie (bahasa Belanda) atau Introduction Indonesian of Law atau Introduction Indonesian Positive Law (bahasa Inggris) mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum).
  2. PIH atau Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa Belanda) atau Introduction of Jurisprudence atau Introduction science of Law (bahasa Inggris) merupakan pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine rechtslehre).
  3. PIH mempelajari ilmu hukum secara umum dengan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar tentang hukum pada umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi yang berlaku pada masyarakat hukum lainnya.
  4. PIH mempelajari dan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar serta teori-teori hukum secara umum, termasuk mengenai sejarah terbentuknya lembaga-lembaga hukum maupun pengantar falsafahnya dalam arti kerohanian kemasyarakatan.
Kesimpulannya PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar hukum secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan. Sedangkan PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-pengertian dasar dan sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum, aturan-aturan hukum serta teori hukum positif Indonesia.

C. Tujuan Mempelajari Pengantar Hukum Indonesia

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tentang tujuan dari belajar hukum itu ialah:
  1. Ingin mengetahui peraturan‐peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum.
  2. Ingin mengetahui perbuatan‐perbuatan mana yang menurut hukum, dan perbuatanperbuatanmana yang melanggar hukum.
  3. Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dankewajibannya.
  4. Ingin mengetahui sanksi‐sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebutmelanggar peraturan yang berlaku.Samidjo, mengatakan bahwa tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah mempelajarihukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu hukum
  5. Mempelajari pengantar hukum Indonesia adalah agar mengerti dan memahami sistematika dan susunan hukum yang berlaku di indonesia termasuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib dikalangan anggota masyarakat dan peraturan-peraturan yang diadakan oleh Negara

D. Sejarah Tata Hukum Indonesia

1. Masa voc(1602-1799)

Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula IEC yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasionalpertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam Negara.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral Pierter Both untuk membuat peraturan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai. Peraturan yang dibuat Gubernur Jendral itu,kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh direksi VOC di belanda dengan nama “Heeren Zeventien”, setelah penyusunan selesai, maka pada tahun 1642 diumumkan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan nama “Statuta Van Batavia”. Sampai berakhirnya VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13 Desember 1799, tidak ada aturan hukum lain yang berlaku kecuali yang disebutkan tadi.

2. Pemerintahan Hindia-Belanda

Pada tanggal 1 Januari 1800 daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itu kepulauan di Nusantara mengalami penjajahan pemerintah Belanda dengan menjalankan peraturan-peraturan pemerintahan dan hukum yang berpedoman pada aturan di Negeri Belanda. Untuk mengurusi nusantara, saat itu raja/ratu Belanda mengutus Gubernur Jendral yang bernama Herman Willam Deandels untuk mengurusi daerah jajahan di Nusantara. Pada masa pemerintahanya, Deandels membagi Pulau Jawa menjadi 9 Keresidenan, dan menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah Belanda dengan menerima gaji.

Pada tahun 1811 Deandels, diganti oleh Jensens yang tidak lama lama memerintah karena pada tahun itu juga kepulauan di Nusantara dikuasai oleh Inggris dan pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffle sebagai Letnan Gubernur. Kemudian dalam pemerintahanya Raffles mengubah Jawa menjadi 19 Karesidenan dan kekuasaan Bupati dikurangi. Saat itu seluruh rakyat dibebani Pajak Bumi (landrente). Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan system pengadilan yang di-konkordasi-kan susunanya seperti pengadilan di India yang terdiri dari :
  1. Divious cor’t. terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atauDemang dan pegawai bawahanya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggaran kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepadaBupati’s Court.
  2. Resident’s cort. Terdiri dari Residen, Bupati, Hooft Jaksa, Hooft Penghulu. Wewenangnya mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang melebihi 50 ropyen.
  3. Distric courts. Terdiri dari Bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa, dan beberapa pegawai Bumiputera. Wewenangnya mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, Bupati meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada kesesuaian pendapat, maka perkaranya harus diajukan kepada Resident’s Court
  4. Courts of circuits. Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai pengadilan keliling dalam mengangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut system juri yang terdiri dari 5 sampai 9 orang bumiputera.
Sebagai hasil dari konvensi London pada tanggal 17 Maret 1814, maka Inggris menyerahkan kembali kepulauan Nusantara kepada Belanda. Sejak saat itu seluruh tata pemerintahan dan tata hukum diatur dengan baik. Dan sejarah perundangan-undangan yang berlaku

3. Pendudukan Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang.Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai memperoleh penghormatan dari Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalamisiksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan bala tentara Jepang berpedoman pada undang-undang yang disebut “Gunseirei”. Setiap peraturan yang dibuat demi kepentingan di Jawa dan Madura berpedomankan pada Gunseireimelalui “Osamu Seirei”. Dan “Osamu Seirei” itu diperlukan untuk mengatur segala yang dibutuhkan oleh pemerintahan melalui peraturan pelaksana yang disebut “Osamu Kenrei”.

4. Fase Kemerdekaan

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kotaHiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atasNagasaki sehingga menyebabkan dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai Negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan wadah organisasi bangsa demi melaksanakan dan mengisi kemerdekaanya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia menetapkan dan memberlakukan UUD yang merupakan hasil dari perumusan dan penyelidikan bangsa Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (atau dalambahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai), yakni sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 sebagai janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dikemudian hari. Dan setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan UUD itu ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan UUD 1945. Selama kemerdekaanya bangsa Indonesia mengalami pasang-sarut dalam menjalankan roda pemerintahanya yang dimana hal ini berpengaruh pada dinamika politik hukum di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada politik hukum Indonesia dapat di golongkan menjadi 3 masa, yaitu :

1. Orde lama

Masa pemerintahan orde lama dibawah pimpinan Presiden Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden yang ditetapkan secara aklamasi oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Sejak saat itu tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atas subsistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Dalam menjalankan roda pemerintahanya orde lama mengalami dinamika politik yang mempengaruhi kebijakan politik hukum pada saat itu, hal itu dapat diklasifikasikan menjadi 3 periode, yakni :
  • 1945-1950. Perubahan penting dalam pelaksanaan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan kedalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dengan menunjukan hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan dengan UU no. 7 tahun 1947 tentang organisasi dan kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian diintegrasikan ke dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Yang pada dasarnya merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Balatentara Jepang, dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif.
  • 1950-1959. Setelah berlakunya UUDS 1950, pemerintah melakukan berbagai pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu pembenahan yang dianggap keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, juga pemerintah berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terbetuknya badan Konstituante. Pada periode ini langkah penting dalam bidang penyelenggaraan hukum adalah diberlakukanya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, Kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Pada UU ini kedudukan hakim setara dengan penuntut umum.
  • 1959-1965. Perkembangan politik hukum pada masa ini adalah dengan dikeluarkanya dekret pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, oleh Presiden Soekarno yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.Isi dari Dekret tersebut antara lain: Produk perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam partumbuhan tata hukum di Indonesia adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sekaligus menyatakan sebagian besar Pasal-pasal yang tercantum dalam buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi[20].
2. Orde Baru

Setelah kudeta G30S/PKI berhasil digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Supersemar”, maka dimulailah babak baru dalam kehidupan sejarah bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai pemerintahan Orde Baru. Yang dimana pemerintahan Orde Baru berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Demi mewujudkan hal tersebut diciptakanlah berbagai produk UU untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai konsekuensi pemerintahan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka dibuatlah susunan perundang-undangan (Hirarki) sebagai berikut : 
  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Ketetapan MPR
  • Undang-Undang/Perpu
  • Keputusan Presiden Peraturan lain nya
3. Orde Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan untuk mengundurkan diri dari jabatanya sebagai presiden RI, peristiwa ini menandakan berakhirnya masa Orde Baru sekaligus lahirnya era baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, masa ini kemudian dikenal dengan sebutan Orde Reformasi. Keberhasilan Reformasi politik, terbukti dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945), maka politik hukum yang terpenting pada Orde Reformasi adalah diambilnya keputusan politik untuk merubah UUD 1945. Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebanyak 4 kali, sejak tahun 1999-2002. Dengan demikian komposisi UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut, disahkan pada perubahan keempat oleh MPR pada sidang Tahuan MPR tahun 2002. Maka UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut memiliki susunan sebagai berikut : 1.Undang-Undang 1945 Naskah Asli 2.Peruban Pertama Undang-Undang 1945 3.Perubah Kedua Undang-Undang 1945 4.Perubah ketiga Undang-Undang 1945 5.Perubahan Ke Empat Undang-Undang 1945

Bab III Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi ldmbaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.

TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.

Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945.

Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.

B. Saran

Dengan makalah tersebut diharapkan,bagi pembaca atau pendengar dapat memahami arti penting pengantar hukum indonesia,mencakup seluruh aspek baik unsur,tujuan,dan fungsi Negara, serta keterkaitan antara Negara dan agama, sehingga pembaca atau pendengar mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu unsur terbentuknya sebuah Negara.Misalnya : ikut memberikan haknya dengan memberikan suara saat pemilu berlangsung, mengeluarkan aspirasi atau pendapat melalui forum yang ada dan lain sebagainya.Bagi penulis di harapkan tidak hanya mampu menulis tetapi dapat melaksanakan seperti apa yang ada di dalam makalah ini.Kami menyadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan atau pembahasan.Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demiperbaikan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
  • Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006;
  • Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;
  • Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010;
  • Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;
  • Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999;
  • Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;
  • Purbacaraka, Purnadi dan Soekamto, Soerjono, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993;
  • Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009;
Read More
      edit
Published March 12, 2019 by with 0 comment

Pendudukan Jepang

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan. Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut.

UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR.

B. Rumusan Masalah
  1. Adakah alasan utama mengapa UU No 10 Tahun 2004 digantikan denganUU No 12 Tahun 2011 ?
  2. Apakah Teori Perundang-Undangan dan Judicial Revew dapat menjadi jamianan kedudukan TAP MPR ?
  3. Apakah pengujian UU Terhadap TAP MPR sesuai sistem sumber Hukum ?
C. Tujuan
  1. Untuk mengetahui dan memahami Hal yang Dimaksud Rumusan Masalah di atas.

BAB II Rumusan masalah

A. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum

Pengantar Hukum Indonesia (PHI) merupakan terjemahan dari mata kuliah inleiding tot de recht sweetenschap yang diberikan di Recht School (RHS) atau sekolah tinggi hokum Batavia di jaman Hindia Belanda yang didirikan 1924 di Batavia (Jakarta sek.) istilah itupun sama dengan yang terdapat dalam undang-undang perguruan tinggi Negeri Belanda Hoger Onderwijswet 1920. Di zaman kemerdekaan pertama kali menggunakan istilah “pengantar ilmu hokum .” adalah perguruan tinggi Gajah Mada yang didirikan di yogyakarta 13 maret 1946.Menurut Para Ahli sebagai berikut :

Menurut J.H.P. Bellefroid, “Hukum Positif” ialah suatu penyusunan hukum mengenai hidup kemasyarakatan, yang ditetapkan oleh kuasa masyarakat tertentu, berlaku untuk masyarakat tertentu yang terbatas menurut tempat dan waktunya. Ius constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat tertentu.

Hukum positif atau “stellingsrecht” merupakan suatu kaidah yang berlaku sebenarnya, merumuskan suatu hubungan yang pantas antara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusankeputusan. Hukum Positif adalah hukum yang berlaku sungguh-sungguh; Hukum positif kemanusiaan yang berubah-ubah itu merupakan suatu tertib yang tegas untuk kebaikan umum; Hukum positif atau hukum “isbat” ialah hukum yang berlaku di dalam negara.

J.J.H. Bruggink di dalam bukunya “Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie” (Refleksi Hukum, Pengertian Dasar Teori Hukum) yang telah dialih bahasakan oleh Bernard Arief Sidharta dengan judul “Refleksi tentang Hukum” bahwa yang dimaksud “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban kekuasaan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan ini maka aturan hukum itu disebut hukum positif. Hukum positif adalah terjemahan dari “ius positum” dari bahasa Latin, yang secara harfiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”.

Hukum positif (ius positum) identik atau sama dengan Ius constitutum, artinya hukum yang telah dipilih atau ditentukan atau ditetapkan berlakunya untuk mengatur kehidupan di tempat tertentu pada waktu sekarang. Jika hukum itu masih di cita-citakan (ide) dan akan berlaku untuk waktu yang akan datang, disebut “ius constituendum” kebalikan dari “ius constitutum” atau “ius positum”.

Ius constitutum atau ius positum, selain berbeda dengan ius constituendum juga berbeda dengan konsep hukum menurut “hukum alam” atau “hukum kodrat” (ius naturale atau natural law) yang bersifat universal karena berlakunya tidak terbatas oleh waktu dan tempat. “Ius positum” atau “ius constitutum” atau disebut juga “ius operatum” artinya hukum yang telah ditetapkan atau dipositifkan (positum) atau dipilih atau ditentukan (constitutum) berlakunya sekarang (operatum) dalam masyarakat atau wilayah tertentu. Ius operatum mengandung arti bahwa hukum atau peraturan perundangundangan telah berlaku dan dilaksanakan di masyarakat.

Ius costituendum dapat menjadi ius constitutum atau ius positum atau ius operatumapabila sudah ditetapkan berlaku oleh penguasa yang berwenang, dan pemberlakuannya memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum positif lainnya yang mengatur pemberlakuan suatu hukum (undang-undang) ; misalnya perundang-undangan harus telah disahkan oleh lembaga pembuat undang-undang dan diundangkan oleh lembaga yang berwenang.

Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa “Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri. Bangsa Indonesiapun mempunyai tata hukumnya sendiri, tata hukum Indonesia. Siapa yang mempelajari tata hukum Indonesia, maksudnya terutama ialah ingin mengetahui, perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajibankewajiban dan wewenang wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan pendek kata ia ingin mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam negara kesatuan Republik Indonesia”.

Achmad Sanusi menyatakan bahwa, istilah “Pengantar Tata Hukum Indonesia” merupakan pengantar ilmu hukum sebagai suatu sistem hukum positif di Indonesia. Selanjutnya dikemukakan bahwa, PTHI mempelajari konsep dan teori hukum yang berlaku di sini sesuai dengan bahan-bahan real dan ideal bangsa Indonesia.

Dari beberapa pengertian di atas, paling tidak dapat dipahami bahwa Pengantar Hukum Indonesia (PHI) artinya mengantarkan atau memberikan pedoman kepada mahasiswa untuk mempelajari hukum yang berlaku di Indonesia dewasa ini. Berlaku artinya memberi akibat hukum bagi yang melanggarnya, akibat hukum adalah berupa sanksi. Seperti dijelaskan sebelumnya permasalahan definisi terletak pada permasalahan frasa hukum yang berlaku atau hukum positif atau ius constitutum. Apakah PIH tidak mempelajari hukum yang sudah tidak berlaku dan hukum yang dicita-citakan atau ius constituendum? Padahal apabila melihat buku-buku PIH banyak yang menjelaskan teori-teori atau asas-asas –apakah tidak masuk pada klasifikasi ius constituendum?- dan sejarah hukum yang sudah tidak berlaku atau perkembangan hukum. lalu, bagaimana pengertian PHI yang lebih baik?

B. Hubungan Pengantar Hukum Indonesia Dan Pengantar Ilmu Hukum

Persamaan Pengantar Ilmu Hukum dengan Pengantar Hukum Indonesia :
  1. PHI dan PIH sama-sama merupakan mata kuliah prasyarat dan pengantar atau sebagai mata kuliah dasar (basis leervakken) bagi mata kuliah atau studi lanjut tentang “Hukum” (cabang-cabang hukum positif). Oleh karena itu, PIH dan PHI bukan mata kuliah jurusan atau pilihan. 
  2. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
  3. Objek studi PIH dan PHI adalah “hukum”. PIH dan PHI memperkenalkan konsep-konsep dasar, pengertian-pengertian hukum, dan generalisasi-generalisasi tentang hukum dan teori hukum positif (dogmatik hukum)yang secara umum dapat diaplikasikan.
  4. PIH dan PHI memperkenalkan hukum sebagai suatu kerangka yang menyeluruh, yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu, sehingga orang dapat memperoleh suatu overzicht atau suatu pemahaman yang umum dan lengkap tentang hukum. PIH dan PHI menyajikan satu ringkasan yang komprehensif dari konsep atau teori hukum dalam keseluruhan.
  5. PIH dan PHI merupakan ilmu dasar bagi siapa saja yang ingin mempelajari ilmu hukum secara luas.
Perbedaan Pengantar Ilmu Hukum Dengan Pengantar Hukum Indonesia:
  1. PHI atau Inleiding tot het positiefrecht van Indonesie (bahasa Belanda) atau Introduction Indonesian of Law atau Introduction Indonesian Positive Law (bahasa Inggris) mempelajari hukum positif yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif berlakunya, apakah sesuai dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum).
  2. PIH atau Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa Belanda) atau Introduction of Jurisprudence atau Introduction science of Law (bahasa Inggris) merupakan pengantar guna memperkenalkan dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine rechtslehre).
  3. PIH mempelajari ilmu hukum secara umum dengan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar tentang hukum pada umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja tetapi yang berlaku pada masyarakat hukum lainnya.
  4. PIH mempelajari dan memperkenalkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep dasar serta teori-teori hukum secara umum, termasuk mengenai sejarah terbentuknya lembaga-lembaga hukum maupun pengantar falsafahnya dalam arti kerohanian kemasyarakatan.
Kesimpulannya PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar hukum secara umum atau yang berlaku secara universal, misalnya mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan teori-teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum dari sudut pandang falsafah kemasyarakatan. Sedangkan PHI mempelajari konsep-konsep, pengertian-pengertian dasar dan sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum, aturan-aturan hukum serta teori hukum positif Indonesia.

C. Tujuan Mempelajari Pengantar Hukum Indonesia

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tentang tujuan dari belajar hukum itu ialah:
  1. Ingin mengetahui peraturan‐peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara atau hukum positif atau Ius Constitutum.
  2. Ingin mengetahui perbuatan‐perbuatan mana yang menurut hukum, dan perbuatanperbuatanmana yang melanggar hukum.
  3. Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dankewajibannya.
  4. Ingin mengetahui sanksi‐sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebutmelanggar peraturan yang berlaku.Samidjo, mengatakan bahwa tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah mempelajarihukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu hukum
  5. Mempelajari pengantar hukum Indonesia adalah agar mengerti dan memahami sistematika dan susunan hukum yang berlaku di indonesia termasuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib dikalangan anggota masyarakat dan peraturan-peraturan yang diadakan oleh Negara

D. Sejarah Tata Hukum Indonesia

1. Masa voc(1602-1799)

Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula IEC yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan multinasionalpertama di dunia sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalnya VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam Negara.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral Pierter Both untuk membuat peraturan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di daerah-daerah yang dikuasai. Peraturan yang dibuat Gubernur Jendral itu,kemudian berlaku berdampingan dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh direksi VOC di belanda dengan nama “Heeren Zeventien”, setelah penyusunan selesai, maka pada tahun 1642 diumumkan di Batavia (sekarang Jakarta) dengan nama “Statuta Van Batavia”. Sampai berakhirnya VOC yang dibubarkan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 13 Desember 1799, tidak ada aturan hukum lain yang berlaku kecuali yang disebutkan tadi.

2. Pemerintahan Hindia-Belanda

Pada tanggal 1 Januari 1800 daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sejak saat itu kepulauan di Nusantara mengalami penjajahan pemerintah Belanda dengan menjalankan peraturan-peraturan pemerintahan dan hukum yang berpedoman pada aturan di Negeri Belanda. Untuk mengurusi nusantara, saat itu raja/ratu Belanda mengutus Gubernur Jendral yang bernama Herman Willam Deandels untuk mengurusi daerah jajahan di Nusantara. Pada masa pemerintahanya, Deandels membagi Pulau Jawa menjadi 9 Keresidenan, dan menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah Belanda dengan menerima gaji.

Pada tahun 1811 Deandels, diganti oleh Jensens yang tidak lama lama memerintah karena pada tahun itu juga kepulauan di Nusantara dikuasai oleh Inggris dan pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffle sebagai Letnan Gubernur. Kemudian dalam pemerintahanya Raffles mengubah Jawa menjadi 19 Karesidenan dan kekuasaan Bupati dikurangi. Saat itu seluruh rakyat dibebani Pajak Bumi (landrente). Dalam bidang hukum Raffles mengutamakan system pengadilan yang di-konkordasi-kan susunanya seperti pengadilan di India yang terdiri dari :
  1. Divious cor’t. terdiri dari beberapa pegawai pribumi, yaitu Wedana atauDemang dan pegawai bawahanya. Mereka berwenang mengadili perkara pelanggaran kecil dan sipil dengan pembatasan sampai 20 ropyen. Naik banding dalam perkara sipil dapat dilakukan kepadaBupati’s Court.
  2. Resident’s cort. Terdiri dari Residen, Bupati, Hooft Jaksa, Hooft Penghulu. Wewenangnya mengadili perkara pidana dengan ancaman bukan hukuman mati. Dalam perkara sipil mengadili perkara yang melebihi 50 ropyen.
  3. Distric courts. Terdiri dari Bupati sebagai ketua, penghulu, jaksa, dan beberapa pegawai Bumiputera. Wewenangnya mengadili perkara sipil. Dalam memberikan putusan, Bupati meminta pertimbangan jaksa dan penghulu. Kalau tidak ada kesesuaian pendapat, maka perkaranya harus diajukan kepada Resident’s Court
  4. Courts of circuits. Terdiri dari seorang ketua dan seorang anggota. Bertugas sebagai pengadilan keliling dalam mengangani perkara pidana dengan ancaman hukuman mati. Dalam peradilan ini dianut system juri yang terdiri dari 5 sampai 9 orang bumiputera.
Sebagai hasil dari konvensi London pada tanggal 17 Maret 1814, maka Inggris menyerahkan kembali kepulauan Nusantara kepada Belanda. Sejak saat itu seluruh tata pemerintahan dan tata hukum diatur dengan baik. Dan sejarah perundangan-undangan yang berlaku

3. Pendudukan Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang.Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai memperoleh penghormatan dari Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalamisiksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan bala tentara Jepang berpedoman pada undang-undang yang disebut “Gunseirei”. Setiap peraturan yang dibuat demi kepentingan di Jawa dan Madura berpedomankan pada Gunseireimelalui “Osamu Seirei”. Dan “Osamu Seirei” itu diperlukan untuk mengatur segala yang dibutuhkan oleh pemerintahan melalui peraturan pelaksana yang disebut “Osamu Kenrei”.

4. Fase Kemerdekaan

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kotaHiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atasNagasaki sehingga menyebabkan dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai Negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan wadah organisasi bangsa demi melaksanakan dan mengisi kemerdekaanya. Pada tanggal 18 Agustus 1945 bangsa Indonesia menetapkan dan memberlakukan UUD yang merupakan hasil dari perumusan dan penyelidikan bangsa Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (atau dalambahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai), yakni sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 sebagai janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dikemudian hari. Dan setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan UUD itu ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan UUD 1945. Selama kemerdekaanya bangsa Indonesia mengalami pasang-sarut dalam menjalankan roda pemerintahanya yang dimana hal ini berpengaruh pada dinamika politik hukum di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada politik hukum Indonesia dapat di golongkan menjadi 3 masa, yaitu :

1. Orde lama

Masa pemerintahan orde lama dibawah pimpinan Presiden Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden yang ditetapkan secara aklamasi oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan UUD 1945. Sejak saat itu tata hukum positif di Indonesia adalah system hukum yang tersusun atas subsistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Dalam menjalankan roda pemerintahanya orde lama mengalami dinamika politik yang mempengaruhi kebijakan politik hukum pada saat itu, hal itu dapat diklasifikasikan menjadi 3 periode, yakni :
  • 1945-1950. Perubahan penting dalam pelaksanaan hukum pada masa ini adalah penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan kedalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, dengan menunjukan hukum acaranya. Hal ini dilakukan dengan dengan UU no. 7 tahun 1947 tentang organisasi dan kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian diintegrasikan ke dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Yang pada dasarnya merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari apa yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Balatentara Jepang, dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif.
  • 1950-1959. Setelah berlakunya UUDS 1950, pemerintah melakukan berbagai pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu pembenahan yang dianggap keberhasilan pada masa ini ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan, juga pemerintah berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan secara demokratis, dengan menghasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terbetuknya badan Konstituante. Pada periode ini langkah penting dalam bidang penyelenggaraan hukum adalah diberlakukanya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, Kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Pada UU ini kedudukan hakim setara dengan penuntut umum.
  • 1959-1965. Perkembangan politik hukum pada masa ini adalah dengan dikeluarkanya dekret pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, oleh Presiden Soekarno yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.Isi dari Dekret tersebut antara lain: Produk perundang-undangan pada masa demokrasi terpimpin yang penting dalam partumbuhan tata hukum di Indonesia adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sekaligus menyatakan sebagian besar Pasal-pasal yang tercantum dalam buku II KUH Perdata tidak berlaku lagi[20].
2. Orde Baru

Setelah kudeta G30S/PKI berhasil digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Supersemar”, maka dimulailah babak baru dalam kehidupan sejarah bangsa Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai pemerintahan Orde Baru. Yang dimana pemerintahan Orde Baru berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Demi mewujudkan hal tersebut diciptakanlah berbagai produk UU untuk melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai konsekuensi pemerintahan Orde Baru yang berkeinginan mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka dibuatlah susunan perundang-undangan (Hirarki) sebagai berikut : 
  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Ketetapan MPR
  • Undang-Undang/Perpu
  • Keputusan Presiden Peraturan lain nya
3. Orde Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan untuk mengundurkan diri dari jabatanya sebagai presiden RI, peristiwa ini menandakan berakhirnya masa Orde Baru sekaligus lahirnya era baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, masa ini kemudian dikenal dengan sebutan Orde Reformasi. Keberhasilan Reformasi politik, terbukti dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945), maka politik hukum yang terpenting pada Orde Reformasi adalah diambilnya keputusan politik untuk merubah UUD 1945. Amandemen UUD 1945 dilakukan oleh MPR sebanyak 4 kali, sejak tahun 1999-2002. Dengan demikian komposisi UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut, disahkan pada perubahan keempat oleh MPR pada sidang Tahuan MPR tahun 2002. Maka UUD 1945 yang mengalami 4 kali perubahan tersebut memiliki susunan sebagai berikut : 1.Undang-Undang 1945 Naskah Asli 2.Peruban Pertama Undang-Undang 1945 3.Perubah Kedua Undang-Undang 1945 4.Perubah ketiga Undang-Undang 1945 5.Perubahan Ke Empat Undang-Undang 1945

Bab III Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi ldmbaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara.

TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja.

Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945.

Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum.

B. Saran

Dengan makalah tersebut diharapkan,bagi pembaca atau pendengar dapat memahami arti penting pengantar hukum indonesia,mencakup seluruh aspek baik unsur,tujuan,dan fungsi Negara, serta keterkaitan antara Negara dan agama, sehingga pembaca atau pendengar mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu unsur terbentuknya sebuah Negara.Misalnya : ikut memberikan haknya dengan memberikan suara saat pemilu berlangsung, mengeluarkan aspirasi atau pendapat melalui forum yang ada dan lain sebagainya.Bagi penulis di harapkan tidak hanya mampu menulis tetapi dapat melaksanakan seperti apa yang ada di dalam makalah ini.Kami menyadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan atau pembahasan.Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demiperbaikan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
  • Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006;
  • Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral : Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Jakarta : UI Press, 2010;
  • Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terj. Raisul Muttaqien, cet. V, Bandung : Nusa Media, 2010;
  • Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010;
  • Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999;
  • Montesquieu, The Spirit of Law, alih bahasa oleh M. Khoirul Anam, Bandung : Nusa Media, 2007;
  • Purbacaraka, Purnadi dan Soekamto, Soerjono, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, cet. IV, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993;
  • Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009;
Read More
      edit