Thursday, November 29, 2018

Published November 29, 2018 by with 0 comment

Pembentukan Karakter

Pengertian Hadhanah

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: Hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/ urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya).

Hadhanah berasal dari kata al-hidhn, yaitu bagian yang terletak di bawah ketiak atau pinggul. Kalimat ﺣﻀﺎﻧﻪاﻟﺸﯿﱨ artinya sesuatu yang berada disamping. Kalimat ﺣﻀﻦاﻟﻂﺎﺋﺮﺑﻴﻀﻪ artinya burung mengayomi telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan seorang perempuan yang merawat anaknya.

Secara syariat, hadhanah (mengasuh anak) adalah menjaga anak-anak yang belum bisa membedakan (tamyiz) dan belum mandiri, dan mendidiknya dengan pendidikan yang memperbaiki jasmani dan rohaninya, serta menjaganya dari apa yang berbahaya baginya.

Definisi hadhanah menurut ahli fikih adalah aktifitas merawat anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak yang belum dewasa yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri, melakukan yang terbaik untuk dirinya, menjaga mereka dari sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan mudharat baginya, memberikan pendidikan kepadanya baik secara jasmani, emotional dan akalnya sampai mereka mampu berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawabnya.

Hadhanah adalah memelihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepadanya.

Menurut Fuqaha Hanafiah, hadhanah merupakan salah satu usaha mendidik anak yang dilakukan orang yang mempunyai hak mengasuh.

Sedangkan menurut Ulama Syafi’iah, hadhanah merupakan mendidik orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakan meskipun orang itu telah dewasa.

Dari definisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa hadhanah adalah suatu cara atau perbuatan dalam pemeliharaan anak yang masih kecil yang masih membutuhkan penjagaan, serta didikan dari orang tua agar terhindar dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepada anak tersebut.

Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah SWT. (QS.Al-Tahrim Ayat):

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. . . (QS. Al-Tahrim : 6)

Pada ayat ini, orangtua di perintahkan Allah SWT. Untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil adalah wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah.

Kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka di hari dewasa. Orang tua memenuhi kewajibannya menurut kemampuannya. Apabila kedua orangtuanya berhalangan, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarganya yang mampu. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 233:

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat di atas menganjurkan kedua orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya. Dan seorang ayah dibebani tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai seorang ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat didalamnya, tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui secara makruf.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ البِنَّىِّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : جَاءَتْنِى امْرَ اَةٌ وَمَعَهَاابْنَتَا نِ ﻟَﻬَﺎفَسَاَ لَتْنِى٬فَلَمْ تَحبِدْعِنْدِ ى شَيْئًاغَيْرَتَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ،فَاَعْطَيْتُهَااِيَّاهَا،فَاَخَذَتْهَافَقَسَمَتْهَابَيْنَ ابْنَتَيْهَاوَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَاشَيْأً٬ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ وَابْنَتَاهَا٬فَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثْتُهُ حَدِيْثَهَا٬فَقَا لَ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنِ ابْتُلِىَ مِنَ ا لْبَنَا تِ بِشَئٍ فَاَحْسَنَ اِلَيْهِنَّ كَنَّ لَهُ سِتْرًامِنَ النَّارِ٠

Artinya: Dari ‘Aisyah r.a., istri Nabi saw. Katanya: “Pada suatu hari seorang perempuan beserta dua orang anak perempuannya datang lalu dia meminta kepadaku. Sayang sekali aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya sebuah kurma, lalu kuberikan kepadanya. Dia mengambil pemberianku itu dan membaginya dua untuk kedua anaknya. Sedang dia sendiri tidak makan apa-apa. Kemudian perempuan itu berdiri lalu pergi dengan kedua anaknya. Setelah Nabi saw. tiba, kuceritakan kepada beliau peristiwa kedatangan perempuan itu. Beliau bersabda, “Siapa mendapat cobaan (kesulitan, kesusahan, kemiskinan, dan sebagainya) dalam memelihara / merawat anak-anaknya, tetapi dia tetap berusaha merawat mereka sebaik-baiknya, maka semua cobaan itu menjadi dinding baginya dari neraka.”

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan cinta dan kasih sayang, turut menjadi faktir penentu pembentukan kepribadian anak. Kualitas komunikasi antara anak dan orang tuanya mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari kompensasi diluar, yang besar kemungkinan akan lebih besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Karena itu nasihat bijak seorang ahli hikmah yang diabadikan al-Qur’an. Hal ini perlu mendapat penekanan, karena tidak jarang kasus-kasus yang terjadi kenakalan remaja adalah salah satu akibat pemahaman orang tua bahwa pemeliharaan anak telah terpenuhi manakala kebutuhan materiil mereka tercukupi. Mereka tidak sempat mengontrol anak-anak mereka. Cakupan tanggung jawab pemeliharaan terhadap anak menurut nasihat Luqman tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam surah luqman ayat: 13

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Didalam ayat ini luqman mengajarkan anaknya agar tidak menyekutukan Allah SWT. karena menyekutukan Allah adalah perbuatan kezaliman yang besar, yang tidak akan diampuni oleh Allah.

Dan pada QS.Luqman ayat: 16-17 yang menjelaskan tentang perbuatan dan menaati perintah Allah SWT:

Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Demikianlah beberapa pokok nasihat Luqman al-Hakim kepada putranya, kewajiban orang tua yang harus dipenuhi. Sebab kegagalan memelihara anak dalam membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merugikan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tuanya pun akan menderita kerugian yang tidak kecil. Karena kelak diakhirat, mereka dituntut untuk mempertanggung jawabkannya. Yang jelas peranan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap arah dan perkembangan keagamaan anak.

Syarat Hadhanah
  1. Berakal Sehat. Bagi orang yang kurang sehat akalnya atau gila, tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, maka ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain.
  2. Dewasa. Hal ini karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetap membutuhkan orang lain yang mengurusinya dan mengasuhnya. Karena itu, dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
  3. Mampu mendidik. Karena itu, tidak boleh menjadi pengasuh bagi orang buta atau rabun, sakit menular, atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus anak kecil, sudah berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kpeentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang kurang baik.
  4. Amanah dan berbudi. Sebab orang yang curang tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.
  5. Islam. Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim, sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Allah SWT. Berfirman: Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ :141). Dan juga ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya dan dididik dengan tradisi agamanya sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut.
  6. Ibunya belum menikah lagi. Jika si ibu tela menikah lagi dengan laki-laki lain, maka hak hadhanahnya hilang. Hukum ini berkenaan dengan si ibu tersebut apabila ia menikah lagi dengan laki-laki lain tetapi kalau menikah dengan laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, maka hak hadhanahnya tidak hilang. 
  7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibnu Qayyim berkata, “Tentang syarat-syarat merdeka ini tidaklah ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhab sajalah yang menetapkannya. “Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang memiliki anak dari budak perempuannya, “Sesungguhnya ibunya lebih berhak terhadap anaknya selama ia tidak dijual. Jika ia dijual maka hak hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.”Dan pendapat ini lah yang benar.
Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.

Dari syarat-syarat diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak melakukan hadhanah adalah orang yang benar-benar mampu dan memenuhi semua persyaratan untuk menjadi hadhun.

Batas Umur Hadhanah

Batas waktu/umur hadhanah adalah, anak laki-laki hingga baligh, sedang anak perempuan hingga menikah dan telah digauli oleh suaminya. Jika seorang istri berpisah dari suaminya, dan ibunya yang mengasuh anaknya atau wanita lainnya, maka jangka waktu hadhanahnya bagi pihak wanita adalah hingga usia anak yang diasuh mencapai usia tujuh tahun, dan setelah itu hak hadhanahnya berpindah ke pihak laki-laki, karena pihak laki-laki lebih utama melakukannya setelah usai anak kecil yang dihadhanahi mencapai usia tujuh tahun dari pada pihak wanita.

Pada dasarnya permasalahan pengasuhan anak tidak memiliki batas waktu tertentu. Namun yang mesti menjadi ukuran dalam masalah ini adalah usia mumayyiz dan kemampuan anak untuk hidup mandiri. Jika si anak telah mencapai usia mumayyiz, tidak lagi membutuhkan perawatan dari seorang perempuan (pengasuh) dan sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, maka pengasuhannya sudah dianggap berakhir.

Ketetapan fatwa dalam Mazhab Hanafi dan Mazhab yang lain menegaskan bahwa masa pengasuhan berakhir jika seorang si anak telah berusia 7 tahun pada anak laki-laki dan 9 tahun bagi anak perempuan. Ketepatan usia lebih pada anak perempuan diharapkan agar dia dapat mencontoh kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan pada umumnya, termasuk ibu asuhnya.

Para Ahli Fiqh berbeda pendapat tentang batas umur bagi anak kecil laki-laki tidak memerlukan hadhanah. Sebagian mereka menetapkan 7 tahun, sebagian lagi 9 tahun, dan yang lain lagi adalah 11 tahun.

Adapun lamanya masa mengasuh, ada beberapa pendapat, yang dikemukakan oleh beberapa Imam Mazhab.
  1. Imam Syafi’i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 (tujuh) atau 8 (delapan) tahun.
  2. Ulama-ulama Hanafiah, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri, sedang anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya.
  3. Imam Malik mengatakan bahwa, ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia menikah. Sedang bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia balig.
Dalam KHI pasal 98 tentang pemeliharaan anak disebutkan bahwa:
  1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
  2. Orang tua mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
  3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka dihari dewasa.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 45 juga mengemukakan:
  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 47:
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
  2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Ketentuan pasal-pasal tersebut relevan sekali dengan nasihat Luqman al-Hakim seperti telah dikemukakan. Jadi kewajiban orang tua telah terpenuhi, apabila si anak telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin. Yang menarik adalah Undang-undang Perkawinan justru menekankan kewajiban anak terhadap orang tua, yang tampaknya dalam kompilasi tidak diatur secara tegas dan rinci. Bagaimanapun juga antara hak dan kewajiban adalah penyeimbang. Kewajiban orang tua merupakan hak pemeliharaan yang diterima anak. Ketika anak menerima haknya, anak perlu memenuhi kewajibannya terhadap orang tuanya.

Urutan Orang yang berhak melaksanakan Hadhanah

Dalam hal hadhanah, yang pertama kali mempunyai hak hadhanah adalah ibunya. Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutan-urutannya sebagai berikut:
  1. Ibu
  2. Ibunya ibu 
  3. Ibunya ayah
  4. Neneknya ibu
  5. Neneknya ayah
  6. Saudara perempuan seayah dan seibu
  7. Saudara perempuan seibu
  8. Anak perempuan dari saudara seayah dan seibu
  9. Anak perempuan dari saudara seibu
  10. Bibi dari ibu yang seayah dan seibu
  11. Bibi dari ibu yang seibu
  12. Bibi dari ayah yang seayah dan seibu.
Bila tidak ada seorang pun dari kerabat-kerabat perempuan, maka tanggung jawab pemeliharaan itu diserahkan kepada keluarga lelaki dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ayah
  2. Ayahnya ayah terus ke atas (Kakek)
  3. Saudara lelaki ayah yang sekandung
  4. Saudara lelaki ayah yang seayah
  5. Paman yang sekandung dengan ayahnya ayah
  6. Paman yang seayah dengan ayahnya ayah
Jika para wali-wali yang sah tiada, maka hakim atau pengadilan menunjuk seorang wali untuk melindungi harta anak yang masih kecil itu.

Drs. H. Ibnu Mas’ud dalam bukunya Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa, orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain
  2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas 
  3. Bapak 
  4. Ibu dari bapak (nenek)
  5. Saudara yang perempuan
  6. Tante (bibi)
  7. Anak perempuan
  8. Anak perempuan dari saudara laki-laki 
  9. Saudara perempuan dari bapak
Hadhanah Nenek, dan hubungannya dengan karakter anak

Orang yang paling berhak melakukan hadhanah adalah ibunya, kemudian neneknya dari pihak ibu, ayahnya, kemudian nenek dari pihak ayah. Pada masa Umar, pernah ada kasus perselisihan yang dihadapkan kepada Umar. Maka Umar berkata: “Dia (si anak) bersama ibunya sampai lidahnya bisa mengucapkan bahasa Arab, kemudian dia disuruh memilih (antara ibu dan ayahnya). Kemudian kalau seorang nenek (dari pihak ibu) juga berhak mengasuh si anak, karena Umar ra. Mempunyai istri seorang wanita dari kaum Anshar lalu dia melahirkan Ashim, tak lama setelah itu beliau menceraikannya, sementara itu yang mengasuh adalah ibunya, tapi setelah Umar datang kerumahnya beliau melihat Ashim (anaknya) bermain dihalaman masjid, lantas beliau ambil anak itu dan menggendongnya sambil naik kuda dan diberikan kepada neneknya, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka sampai mereka mengajukan kasusnya itu kehadapan Abu Bakar ra. Kemudian Abu Bakar memutuskan bahwa anak itu diasuh oleh neneknya sampai dia baligh. Jadi ibu si anak dan neneknya lebih berhak mengasuhnya daripada ayahnya, juga mereka lebih berhak mengasuhnya daripada pamannya.

Seorang anak pada masa permulaan hidupnya pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh/ shalehah) dikemudian hari. Disamping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah wanita.

Jika seorang ibu tidak bersedia merawat anaknya dan anak yang dimaksud masih memiliki nenek yang bersedia merawatnya, maka hal untuk merawatnya adalah neneknya karena dia juga memiliki hak untuk merawat dan mengasuh cucunya.

Nenek yang mengasuh wajib mengetahui bahwa anak kecil yang diasuhnya itu merupakan amanah yang harus dijaga dan dilindungi. Jika ia merasa tidak mampu melakukan pemeliharaan dan perlindungan yang memadai, atau pengasuhan yang sempurna, maka ia wajib menyerahkan amanah itu kepada pihak yang sanggup mengasuh dan melindunginya.

Dalam pengasuhan anak, nenek harus bisa menjadi contoh dan pengaruh yang baik bagi si anak dalam hal bersikap dan bertindak, nenek dituntut memiliki kemampuan dalam merawat, mengasuh dan memberikan pendidikan, baik dalam pendidikan agama maupun pendidikan sosial, karena hal ini lah yang akan menjadi penentu karakter si anak tersebut.

Pengertian Karakter

Karakter berasal dari bahasa latin “character” yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.

Menurut Poerwadarminta, karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Menurut Mansur Muslict, karakter adalah cara berfikir dan berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam keluarga, masyarakat dan negara.

Dari pengertian yang dijelaskan dapat dinyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

Unsur unsur karakter

Secara psikologi dan sosiologi pada manusia terdapat hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter. Unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur-unsur tersebut antara lain:
  1. Sikap. Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan dianggap cerminan karakter seseorang tersebut. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya, biasanya menunjukan karakter orang tersebut. Jadi semakin baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter baik. Dan sebaliknya, semakin tidak baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter yang tidak baik.
  2. Emosi . Emosi merupakan gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Tanpa emosi, kehidupan manusia akan terasa hambar karena manusia selalu hidup dengan berfikir dan merasa. Dan emosi identik dengan perasaan yang kuat.
  3. Kepercayaan. Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.
  4. Kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berali-kali. Sedangkan kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan yang mencerminkan perilaku orang tersebut.
  5. Konsepsi diri (Self-Conception). Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar tentang bagaimana karakter dan diri seseorang dibentuk. Jadi konsepsi diri adalah seperti bagaimana saya harus membangun diri, apa yang saya inginkan, dan bagaimana saya menempatkan diri dalam kehidupan.
Pembentukan Karakter

Karakter terbentuk dari kebiasaan. Kebiasaan saat anak-anak biasanya bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa mempengaruhi baik dan buruk, pembentukan kebiasaan anak-anak mereka.

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena pikiran yang didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berfikir yang bisa mempengaruhi perilakunya.

Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukan-nya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan lingkungan (sosial, pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sejak dilahirkan, tetapi potensi-potensi tersebut harus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

Tujuan pembentukan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik dengan tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong anak untuk tumbuh dengan kapasitas komitmen-nya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan dalam membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungan.

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, terutama pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak. Kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang turut menjadi faktor penentu pembentukan karakter / kepribadian anak. Oleh karena itu dalam hal ini kualitas komuniasi antara anak dan nenek mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari konpensasi di luar, yang besar kemungkinan akan besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Dapat disimpulkan bahwa didikan maupun pola asuh yang diterapkan nenek akan membentuk karakter bagi si anak. Karena disini nenek merupakan jembatan pertama bagi si anak dalam membentuk kepribadiannya. Apabila didikan nenek baik, maka akan terbentuk juga karakter yang baik bagi si anak, tetapi apabila didikan yang diberikan nenek salah, maka akan terbentuklah karakter yang buruk bagi si anak.

SUMBER :
  • Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet-3
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2013), Cet-1
  • Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, dkk, Fikih Muyassar: Panduan Praktis Fikih dan Hukum Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet-2
  • Al-San’ani dalam Buku Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonsia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet.1
  • Ma’mur Daud, Terjemah Hadits Shahih Muslim, (Jakarta: Widjaya, 1993), Cet-3
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Darul Haq, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet.XV
  • Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah, (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), Cet.1
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedia Fiqih Umar bin Khathab, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1999), Cet-1
Read More
      edit
Published November 29, 2018 by with 0 comment

Unsur unsur karakter

Pengertian Hadhanah

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: Hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/ urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya).

Hadhanah berasal dari kata al-hidhn, yaitu bagian yang terletak di bawah ketiak atau pinggul. Kalimat ﺣﻀﺎﻧﻪاﻟﺸﯿﱨ artinya sesuatu yang berada disamping. Kalimat ﺣﻀﻦاﻟﻂﺎﺋﺮﺑﻴﻀﻪ artinya burung mengayomi telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan seorang perempuan yang merawat anaknya.

Secara syariat, hadhanah (mengasuh anak) adalah menjaga anak-anak yang belum bisa membedakan (tamyiz) dan belum mandiri, dan mendidiknya dengan pendidikan yang memperbaiki jasmani dan rohaninya, serta menjaganya dari apa yang berbahaya baginya.

Definisi hadhanah menurut ahli fikih adalah aktifitas merawat anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak yang belum dewasa yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri, melakukan yang terbaik untuk dirinya, menjaga mereka dari sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan mudharat baginya, memberikan pendidikan kepadanya baik secara jasmani, emotional dan akalnya sampai mereka mampu berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawabnya.

Hadhanah adalah memelihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepadanya.

Menurut Fuqaha Hanafiah, hadhanah merupakan salah satu usaha mendidik anak yang dilakukan orang yang mempunyai hak mengasuh.

Sedangkan menurut Ulama Syafi’iah, hadhanah merupakan mendidik orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakan meskipun orang itu telah dewasa.

Dari definisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa hadhanah adalah suatu cara atau perbuatan dalam pemeliharaan anak yang masih kecil yang masih membutuhkan penjagaan, serta didikan dari orang tua agar terhindar dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepada anak tersebut.

Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah SWT. (QS.Al-Tahrim Ayat):

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. . . (QS. Al-Tahrim : 6)

Pada ayat ini, orangtua di perintahkan Allah SWT. Untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil adalah wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah.

Kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka di hari dewasa. Orang tua memenuhi kewajibannya menurut kemampuannya. Apabila kedua orangtuanya berhalangan, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarganya yang mampu. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 233:

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat di atas menganjurkan kedua orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya. Dan seorang ayah dibebani tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai seorang ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat didalamnya, tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui secara makruf.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ البِنَّىِّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : جَاءَتْنِى امْرَ اَةٌ وَمَعَهَاابْنَتَا نِ ﻟَﻬَﺎفَسَاَ لَتْنِى٬فَلَمْ تَحبِدْعِنْدِ ى شَيْئًاغَيْرَتَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ،فَاَعْطَيْتُهَااِيَّاهَا،فَاَخَذَتْهَافَقَسَمَتْهَابَيْنَ ابْنَتَيْهَاوَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَاشَيْأً٬ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ وَابْنَتَاهَا٬فَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثْتُهُ حَدِيْثَهَا٬فَقَا لَ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنِ ابْتُلِىَ مِنَ ا لْبَنَا تِ بِشَئٍ فَاَحْسَنَ اِلَيْهِنَّ كَنَّ لَهُ سِتْرًامِنَ النَّارِ٠

Artinya: Dari ‘Aisyah r.a., istri Nabi saw. Katanya: “Pada suatu hari seorang perempuan beserta dua orang anak perempuannya datang lalu dia meminta kepadaku. Sayang sekali aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya sebuah kurma, lalu kuberikan kepadanya. Dia mengambil pemberianku itu dan membaginya dua untuk kedua anaknya. Sedang dia sendiri tidak makan apa-apa. Kemudian perempuan itu berdiri lalu pergi dengan kedua anaknya. Setelah Nabi saw. tiba, kuceritakan kepada beliau peristiwa kedatangan perempuan itu. Beliau bersabda, “Siapa mendapat cobaan (kesulitan, kesusahan, kemiskinan, dan sebagainya) dalam memelihara / merawat anak-anaknya, tetapi dia tetap berusaha merawat mereka sebaik-baiknya, maka semua cobaan itu menjadi dinding baginya dari neraka.”

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan cinta dan kasih sayang, turut menjadi faktir penentu pembentukan kepribadian anak. Kualitas komunikasi antara anak dan orang tuanya mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari kompensasi diluar, yang besar kemungkinan akan lebih besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Karena itu nasihat bijak seorang ahli hikmah yang diabadikan al-Qur’an. Hal ini perlu mendapat penekanan, karena tidak jarang kasus-kasus yang terjadi kenakalan remaja adalah salah satu akibat pemahaman orang tua bahwa pemeliharaan anak telah terpenuhi manakala kebutuhan materiil mereka tercukupi. Mereka tidak sempat mengontrol anak-anak mereka. Cakupan tanggung jawab pemeliharaan terhadap anak menurut nasihat Luqman tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam surah luqman ayat: 13

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Didalam ayat ini luqman mengajarkan anaknya agar tidak menyekutukan Allah SWT. karena menyekutukan Allah adalah perbuatan kezaliman yang besar, yang tidak akan diampuni oleh Allah.

Dan pada QS.Luqman ayat: 16-17 yang menjelaskan tentang perbuatan dan menaati perintah Allah SWT:

Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Demikianlah beberapa pokok nasihat Luqman al-Hakim kepada putranya, kewajiban orang tua yang harus dipenuhi. Sebab kegagalan memelihara anak dalam membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merugikan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tuanya pun akan menderita kerugian yang tidak kecil. Karena kelak diakhirat, mereka dituntut untuk mempertanggung jawabkannya. Yang jelas peranan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap arah dan perkembangan keagamaan anak.

Syarat Hadhanah
  1. Berakal Sehat. Bagi orang yang kurang sehat akalnya atau gila, tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, maka ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain.
  2. Dewasa. Hal ini karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetap membutuhkan orang lain yang mengurusinya dan mengasuhnya. Karena itu, dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
  3. Mampu mendidik. Karena itu, tidak boleh menjadi pengasuh bagi orang buta atau rabun, sakit menular, atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus anak kecil, sudah berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kpeentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang kurang baik.
  4. Amanah dan berbudi. Sebab orang yang curang tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.
  5. Islam. Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim, sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Allah SWT. Berfirman: Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ :141). Dan juga ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya dan dididik dengan tradisi agamanya sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut.
  6. Ibunya belum menikah lagi. Jika si ibu tela menikah lagi dengan laki-laki lain, maka hak hadhanahnya hilang. Hukum ini berkenaan dengan si ibu tersebut apabila ia menikah lagi dengan laki-laki lain tetapi kalau menikah dengan laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, maka hak hadhanahnya tidak hilang. 
  7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibnu Qayyim berkata, “Tentang syarat-syarat merdeka ini tidaklah ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhab sajalah yang menetapkannya. “Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang memiliki anak dari budak perempuannya, “Sesungguhnya ibunya lebih berhak terhadap anaknya selama ia tidak dijual. Jika ia dijual maka hak hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.”Dan pendapat ini lah yang benar.
Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.

Dari syarat-syarat diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak melakukan hadhanah adalah orang yang benar-benar mampu dan memenuhi semua persyaratan untuk menjadi hadhun.

Batas Umur Hadhanah

Batas waktu/umur hadhanah adalah, anak laki-laki hingga baligh, sedang anak perempuan hingga menikah dan telah digauli oleh suaminya. Jika seorang istri berpisah dari suaminya, dan ibunya yang mengasuh anaknya atau wanita lainnya, maka jangka waktu hadhanahnya bagi pihak wanita adalah hingga usia anak yang diasuh mencapai usia tujuh tahun, dan setelah itu hak hadhanahnya berpindah ke pihak laki-laki, karena pihak laki-laki lebih utama melakukannya setelah usai anak kecil yang dihadhanahi mencapai usia tujuh tahun dari pada pihak wanita.

Pada dasarnya permasalahan pengasuhan anak tidak memiliki batas waktu tertentu. Namun yang mesti menjadi ukuran dalam masalah ini adalah usia mumayyiz dan kemampuan anak untuk hidup mandiri. Jika si anak telah mencapai usia mumayyiz, tidak lagi membutuhkan perawatan dari seorang perempuan (pengasuh) dan sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, maka pengasuhannya sudah dianggap berakhir.

Ketetapan fatwa dalam Mazhab Hanafi dan Mazhab yang lain menegaskan bahwa masa pengasuhan berakhir jika seorang si anak telah berusia 7 tahun pada anak laki-laki dan 9 tahun bagi anak perempuan. Ketepatan usia lebih pada anak perempuan diharapkan agar dia dapat mencontoh kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan pada umumnya, termasuk ibu asuhnya.

Para Ahli Fiqh berbeda pendapat tentang batas umur bagi anak kecil laki-laki tidak memerlukan hadhanah. Sebagian mereka menetapkan 7 tahun, sebagian lagi 9 tahun, dan yang lain lagi adalah 11 tahun.

Adapun lamanya masa mengasuh, ada beberapa pendapat, yang dikemukakan oleh beberapa Imam Mazhab.
  1. Imam Syafi’i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 (tujuh) atau 8 (delapan) tahun.
  2. Ulama-ulama Hanafiah, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri, sedang anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya.
  3. Imam Malik mengatakan bahwa, ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia menikah. Sedang bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia balig.
Dalam KHI pasal 98 tentang pemeliharaan anak disebutkan bahwa:
  1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
  2. Orang tua mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
  3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka dihari dewasa.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 45 juga mengemukakan:
  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 47:
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
  2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Ketentuan pasal-pasal tersebut relevan sekali dengan nasihat Luqman al-Hakim seperti telah dikemukakan. Jadi kewajiban orang tua telah terpenuhi, apabila si anak telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin. Yang menarik adalah Undang-undang Perkawinan justru menekankan kewajiban anak terhadap orang tua, yang tampaknya dalam kompilasi tidak diatur secara tegas dan rinci. Bagaimanapun juga antara hak dan kewajiban adalah penyeimbang. Kewajiban orang tua merupakan hak pemeliharaan yang diterima anak. Ketika anak menerima haknya, anak perlu memenuhi kewajibannya terhadap orang tuanya.

Urutan Orang yang berhak melaksanakan Hadhanah

Dalam hal hadhanah, yang pertama kali mempunyai hak hadhanah adalah ibunya. Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutan-urutannya sebagai berikut:
  1. Ibu
  2. Ibunya ibu 
  3. Ibunya ayah
  4. Neneknya ibu
  5. Neneknya ayah
  6. Saudara perempuan seayah dan seibu
  7. Saudara perempuan seibu
  8. Anak perempuan dari saudara seayah dan seibu
  9. Anak perempuan dari saudara seibu
  10. Bibi dari ibu yang seayah dan seibu
  11. Bibi dari ibu yang seibu
  12. Bibi dari ayah yang seayah dan seibu.
Bila tidak ada seorang pun dari kerabat-kerabat perempuan, maka tanggung jawab pemeliharaan itu diserahkan kepada keluarga lelaki dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ayah
  2. Ayahnya ayah terus ke atas (Kakek)
  3. Saudara lelaki ayah yang sekandung
  4. Saudara lelaki ayah yang seayah
  5. Paman yang sekandung dengan ayahnya ayah
  6. Paman yang seayah dengan ayahnya ayah
Jika para wali-wali yang sah tiada, maka hakim atau pengadilan menunjuk seorang wali untuk melindungi harta anak yang masih kecil itu.

Drs. H. Ibnu Mas’ud dalam bukunya Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa, orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain
  2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas 
  3. Bapak 
  4. Ibu dari bapak (nenek)
  5. Saudara yang perempuan
  6. Tante (bibi)
  7. Anak perempuan
  8. Anak perempuan dari saudara laki-laki 
  9. Saudara perempuan dari bapak
Hadhanah Nenek, dan hubungannya dengan karakter anak

Orang yang paling berhak melakukan hadhanah adalah ibunya, kemudian neneknya dari pihak ibu, ayahnya, kemudian nenek dari pihak ayah. Pada masa Umar, pernah ada kasus perselisihan yang dihadapkan kepada Umar. Maka Umar berkata: “Dia (si anak) bersama ibunya sampai lidahnya bisa mengucapkan bahasa Arab, kemudian dia disuruh memilih (antara ibu dan ayahnya). Kemudian kalau seorang nenek (dari pihak ibu) juga berhak mengasuh si anak, karena Umar ra. Mempunyai istri seorang wanita dari kaum Anshar lalu dia melahirkan Ashim, tak lama setelah itu beliau menceraikannya, sementara itu yang mengasuh adalah ibunya, tapi setelah Umar datang kerumahnya beliau melihat Ashim (anaknya) bermain dihalaman masjid, lantas beliau ambil anak itu dan menggendongnya sambil naik kuda dan diberikan kepada neneknya, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka sampai mereka mengajukan kasusnya itu kehadapan Abu Bakar ra. Kemudian Abu Bakar memutuskan bahwa anak itu diasuh oleh neneknya sampai dia baligh. Jadi ibu si anak dan neneknya lebih berhak mengasuhnya daripada ayahnya, juga mereka lebih berhak mengasuhnya daripada pamannya.

Seorang anak pada masa permulaan hidupnya pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh/ shalehah) dikemudian hari. Disamping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah wanita.

Jika seorang ibu tidak bersedia merawat anaknya dan anak yang dimaksud masih memiliki nenek yang bersedia merawatnya, maka hal untuk merawatnya adalah neneknya karena dia juga memiliki hak untuk merawat dan mengasuh cucunya.

Nenek yang mengasuh wajib mengetahui bahwa anak kecil yang diasuhnya itu merupakan amanah yang harus dijaga dan dilindungi. Jika ia merasa tidak mampu melakukan pemeliharaan dan perlindungan yang memadai, atau pengasuhan yang sempurna, maka ia wajib menyerahkan amanah itu kepada pihak yang sanggup mengasuh dan melindunginya.

Dalam pengasuhan anak, nenek harus bisa menjadi contoh dan pengaruh yang baik bagi si anak dalam hal bersikap dan bertindak, nenek dituntut memiliki kemampuan dalam merawat, mengasuh dan memberikan pendidikan, baik dalam pendidikan agama maupun pendidikan sosial, karena hal ini lah yang akan menjadi penentu karakter si anak tersebut.

Pengertian Karakter

Karakter berasal dari bahasa latin “character” yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.

Menurut Poerwadarminta, karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Menurut Mansur Muslict, karakter adalah cara berfikir dan berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam keluarga, masyarakat dan negara.

Dari pengertian yang dijelaskan dapat dinyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

Unsur unsur karakter

Secara psikologi dan sosiologi pada manusia terdapat hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter. Unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur-unsur tersebut antara lain:
  1. Sikap. Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan dianggap cerminan karakter seseorang tersebut. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya, biasanya menunjukan karakter orang tersebut. Jadi semakin baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter baik. Dan sebaliknya, semakin tidak baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter yang tidak baik.
  2. Emosi . Emosi merupakan gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Tanpa emosi, kehidupan manusia akan terasa hambar karena manusia selalu hidup dengan berfikir dan merasa. Dan emosi identik dengan perasaan yang kuat.
  3. Kepercayaan. Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.
  4. Kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berali-kali. Sedangkan kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan yang mencerminkan perilaku orang tersebut.
  5. Konsepsi diri (Self-Conception). Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar tentang bagaimana karakter dan diri seseorang dibentuk. Jadi konsepsi diri adalah seperti bagaimana saya harus membangun diri, apa yang saya inginkan, dan bagaimana saya menempatkan diri dalam kehidupan.
Pembentukan Karakter

Karakter terbentuk dari kebiasaan. Kebiasaan saat anak-anak biasanya bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa mempengaruhi baik dan buruk, pembentukan kebiasaan anak-anak mereka.

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena pikiran yang didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berfikir yang bisa mempengaruhi perilakunya.

Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukan-nya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan lingkungan (sosial, pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sejak dilahirkan, tetapi potensi-potensi tersebut harus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

Tujuan pembentukan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik dengan tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong anak untuk tumbuh dengan kapasitas komitmen-nya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan dalam membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungan.

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, terutama pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak. Kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang turut menjadi faktor penentu pembentukan karakter / kepribadian anak. Oleh karena itu dalam hal ini kualitas komuniasi antara anak dan nenek mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari konpensasi di luar, yang besar kemungkinan akan besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Dapat disimpulkan bahwa didikan maupun pola asuh yang diterapkan nenek akan membentuk karakter bagi si anak. Karena disini nenek merupakan jembatan pertama bagi si anak dalam membentuk kepribadiannya. Apabila didikan nenek baik, maka akan terbentuk juga karakter yang baik bagi si anak, tetapi apabila didikan yang diberikan nenek salah, maka akan terbentuklah karakter yang buruk bagi si anak.

SUMBER :
  • Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet-3
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2013), Cet-1
  • Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, dkk, Fikih Muyassar: Panduan Praktis Fikih dan Hukum Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet-2
  • Al-San’ani dalam Buku Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonsia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet.1
  • Ma’mur Daud, Terjemah Hadits Shahih Muslim, (Jakarta: Widjaya, 1993), Cet-3
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Darul Haq, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet.XV
  • Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah, (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), Cet.1
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedia Fiqih Umar bin Khathab, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1999), Cet-1
Read More
      edit
Published November 29, 2018 by with 0 comment

Pengertian Karakter

Pengertian Hadhanah

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: Hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/ urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya).

Hadhanah berasal dari kata al-hidhn, yaitu bagian yang terletak di bawah ketiak atau pinggul. Kalimat ﺣﻀﺎﻧﻪاﻟﺸﯿﱨ artinya sesuatu yang berada disamping. Kalimat ﺣﻀﻦاﻟﻂﺎﺋﺮﺑﻴﻀﻪ artinya burung mengayomi telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan seorang perempuan yang merawat anaknya.

Secara syariat, hadhanah (mengasuh anak) adalah menjaga anak-anak yang belum bisa membedakan (tamyiz) dan belum mandiri, dan mendidiknya dengan pendidikan yang memperbaiki jasmani dan rohaninya, serta menjaganya dari apa yang berbahaya baginya.

Definisi hadhanah menurut ahli fikih adalah aktifitas merawat anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak yang belum dewasa yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri, melakukan yang terbaik untuk dirinya, menjaga mereka dari sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan mudharat baginya, memberikan pendidikan kepadanya baik secara jasmani, emotional dan akalnya sampai mereka mampu berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawabnya.

Hadhanah adalah memelihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepadanya.

Menurut Fuqaha Hanafiah, hadhanah merupakan salah satu usaha mendidik anak yang dilakukan orang yang mempunyai hak mengasuh.

Sedangkan menurut Ulama Syafi’iah, hadhanah merupakan mendidik orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakan meskipun orang itu telah dewasa.

Dari definisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa hadhanah adalah suatu cara atau perbuatan dalam pemeliharaan anak yang masih kecil yang masih membutuhkan penjagaan, serta didikan dari orang tua agar terhindar dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepada anak tersebut.

Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah SWT. (QS.Al-Tahrim Ayat):

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. . . (QS. Al-Tahrim : 6)

Pada ayat ini, orangtua di perintahkan Allah SWT. Untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil adalah wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah.

Kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka di hari dewasa. Orang tua memenuhi kewajibannya menurut kemampuannya. Apabila kedua orangtuanya berhalangan, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarganya yang mampu. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 233:

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat di atas menganjurkan kedua orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya. Dan seorang ayah dibebani tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai seorang ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat didalamnya, tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui secara makruf.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ البِنَّىِّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : جَاءَتْنِى امْرَ اَةٌ وَمَعَهَاابْنَتَا نِ ﻟَﻬَﺎفَسَاَ لَتْنِى٬فَلَمْ تَحبِدْعِنْدِ ى شَيْئًاغَيْرَتَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ،فَاَعْطَيْتُهَااِيَّاهَا،فَاَخَذَتْهَافَقَسَمَتْهَابَيْنَ ابْنَتَيْهَاوَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَاشَيْأً٬ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ وَابْنَتَاهَا٬فَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثْتُهُ حَدِيْثَهَا٬فَقَا لَ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنِ ابْتُلِىَ مِنَ ا لْبَنَا تِ بِشَئٍ فَاَحْسَنَ اِلَيْهِنَّ كَنَّ لَهُ سِتْرًامِنَ النَّارِ٠

Artinya: Dari ‘Aisyah r.a., istri Nabi saw. Katanya: “Pada suatu hari seorang perempuan beserta dua orang anak perempuannya datang lalu dia meminta kepadaku. Sayang sekali aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya sebuah kurma, lalu kuberikan kepadanya. Dia mengambil pemberianku itu dan membaginya dua untuk kedua anaknya. Sedang dia sendiri tidak makan apa-apa. Kemudian perempuan itu berdiri lalu pergi dengan kedua anaknya. Setelah Nabi saw. tiba, kuceritakan kepada beliau peristiwa kedatangan perempuan itu. Beliau bersabda, “Siapa mendapat cobaan (kesulitan, kesusahan, kemiskinan, dan sebagainya) dalam memelihara / merawat anak-anaknya, tetapi dia tetap berusaha merawat mereka sebaik-baiknya, maka semua cobaan itu menjadi dinding baginya dari neraka.”

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan cinta dan kasih sayang, turut menjadi faktir penentu pembentukan kepribadian anak. Kualitas komunikasi antara anak dan orang tuanya mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari kompensasi diluar, yang besar kemungkinan akan lebih besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Karena itu nasihat bijak seorang ahli hikmah yang diabadikan al-Qur’an. Hal ini perlu mendapat penekanan, karena tidak jarang kasus-kasus yang terjadi kenakalan remaja adalah salah satu akibat pemahaman orang tua bahwa pemeliharaan anak telah terpenuhi manakala kebutuhan materiil mereka tercukupi. Mereka tidak sempat mengontrol anak-anak mereka. Cakupan tanggung jawab pemeliharaan terhadap anak menurut nasihat Luqman tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam surah luqman ayat: 13

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Didalam ayat ini luqman mengajarkan anaknya agar tidak menyekutukan Allah SWT. karena menyekutukan Allah adalah perbuatan kezaliman yang besar, yang tidak akan diampuni oleh Allah.

Dan pada QS.Luqman ayat: 16-17 yang menjelaskan tentang perbuatan dan menaati perintah Allah SWT:

Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Demikianlah beberapa pokok nasihat Luqman al-Hakim kepada putranya, kewajiban orang tua yang harus dipenuhi. Sebab kegagalan memelihara anak dalam membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merugikan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tuanya pun akan menderita kerugian yang tidak kecil. Karena kelak diakhirat, mereka dituntut untuk mempertanggung jawabkannya. Yang jelas peranan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap arah dan perkembangan keagamaan anak.

Syarat Hadhanah
  1. Berakal Sehat. Bagi orang yang kurang sehat akalnya atau gila, tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, maka ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain.
  2. Dewasa. Hal ini karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetap membutuhkan orang lain yang mengurusinya dan mengasuhnya. Karena itu, dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
  3. Mampu mendidik. Karena itu, tidak boleh menjadi pengasuh bagi orang buta atau rabun, sakit menular, atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus anak kecil, sudah berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kpeentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang kurang baik.
  4. Amanah dan berbudi. Sebab orang yang curang tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.
  5. Islam. Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim, sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Allah SWT. Berfirman: Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ :141). Dan juga ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya dan dididik dengan tradisi agamanya sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut.
  6. Ibunya belum menikah lagi. Jika si ibu tela menikah lagi dengan laki-laki lain, maka hak hadhanahnya hilang. Hukum ini berkenaan dengan si ibu tersebut apabila ia menikah lagi dengan laki-laki lain tetapi kalau menikah dengan laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, maka hak hadhanahnya tidak hilang. 
  7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibnu Qayyim berkata, “Tentang syarat-syarat merdeka ini tidaklah ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhab sajalah yang menetapkannya. “Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang memiliki anak dari budak perempuannya, “Sesungguhnya ibunya lebih berhak terhadap anaknya selama ia tidak dijual. Jika ia dijual maka hak hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.”Dan pendapat ini lah yang benar.
Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.

Dari syarat-syarat diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak melakukan hadhanah adalah orang yang benar-benar mampu dan memenuhi semua persyaratan untuk menjadi hadhun.

Batas Umur Hadhanah

Batas waktu/umur hadhanah adalah, anak laki-laki hingga baligh, sedang anak perempuan hingga menikah dan telah digauli oleh suaminya. Jika seorang istri berpisah dari suaminya, dan ibunya yang mengasuh anaknya atau wanita lainnya, maka jangka waktu hadhanahnya bagi pihak wanita adalah hingga usia anak yang diasuh mencapai usia tujuh tahun, dan setelah itu hak hadhanahnya berpindah ke pihak laki-laki, karena pihak laki-laki lebih utama melakukannya setelah usai anak kecil yang dihadhanahi mencapai usia tujuh tahun dari pada pihak wanita.

Pada dasarnya permasalahan pengasuhan anak tidak memiliki batas waktu tertentu. Namun yang mesti menjadi ukuran dalam masalah ini adalah usia mumayyiz dan kemampuan anak untuk hidup mandiri. Jika si anak telah mencapai usia mumayyiz, tidak lagi membutuhkan perawatan dari seorang perempuan (pengasuh) dan sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, maka pengasuhannya sudah dianggap berakhir.

Ketetapan fatwa dalam Mazhab Hanafi dan Mazhab yang lain menegaskan bahwa masa pengasuhan berakhir jika seorang si anak telah berusia 7 tahun pada anak laki-laki dan 9 tahun bagi anak perempuan. Ketepatan usia lebih pada anak perempuan diharapkan agar dia dapat mencontoh kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan pada umumnya, termasuk ibu asuhnya.

Para Ahli Fiqh berbeda pendapat tentang batas umur bagi anak kecil laki-laki tidak memerlukan hadhanah. Sebagian mereka menetapkan 7 tahun, sebagian lagi 9 tahun, dan yang lain lagi adalah 11 tahun.

Adapun lamanya masa mengasuh, ada beberapa pendapat, yang dikemukakan oleh beberapa Imam Mazhab.
  1. Imam Syafi’i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 (tujuh) atau 8 (delapan) tahun.
  2. Ulama-ulama Hanafiah, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri, sedang anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya.
  3. Imam Malik mengatakan bahwa, ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia menikah. Sedang bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia balig.
Dalam KHI pasal 98 tentang pemeliharaan anak disebutkan bahwa:
  1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
  2. Orang tua mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
  3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka dihari dewasa.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 45 juga mengemukakan:
  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 47:
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
  2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Ketentuan pasal-pasal tersebut relevan sekali dengan nasihat Luqman al-Hakim seperti telah dikemukakan. Jadi kewajiban orang tua telah terpenuhi, apabila si anak telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin. Yang menarik adalah Undang-undang Perkawinan justru menekankan kewajiban anak terhadap orang tua, yang tampaknya dalam kompilasi tidak diatur secara tegas dan rinci. Bagaimanapun juga antara hak dan kewajiban adalah penyeimbang. Kewajiban orang tua merupakan hak pemeliharaan yang diterima anak. Ketika anak menerima haknya, anak perlu memenuhi kewajibannya terhadap orang tuanya.

Urutan Orang yang berhak melaksanakan Hadhanah

Dalam hal hadhanah, yang pertama kali mempunyai hak hadhanah adalah ibunya. Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutan-urutannya sebagai berikut:
  1. Ibu
  2. Ibunya ibu 
  3. Ibunya ayah
  4. Neneknya ibu
  5. Neneknya ayah
  6. Saudara perempuan seayah dan seibu
  7. Saudara perempuan seibu
  8. Anak perempuan dari saudara seayah dan seibu
  9. Anak perempuan dari saudara seibu
  10. Bibi dari ibu yang seayah dan seibu
  11. Bibi dari ibu yang seibu
  12. Bibi dari ayah yang seayah dan seibu.
Bila tidak ada seorang pun dari kerabat-kerabat perempuan, maka tanggung jawab pemeliharaan itu diserahkan kepada keluarga lelaki dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ayah
  2. Ayahnya ayah terus ke atas (Kakek)
  3. Saudara lelaki ayah yang sekandung
  4. Saudara lelaki ayah yang seayah
  5. Paman yang sekandung dengan ayahnya ayah
  6. Paman yang seayah dengan ayahnya ayah
Jika para wali-wali yang sah tiada, maka hakim atau pengadilan menunjuk seorang wali untuk melindungi harta anak yang masih kecil itu.

Drs. H. Ibnu Mas’ud dalam bukunya Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa, orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain
  2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas 
  3. Bapak 
  4. Ibu dari bapak (nenek)
  5. Saudara yang perempuan
  6. Tante (bibi)
  7. Anak perempuan
  8. Anak perempuan dari saudara laki-laki 
  9. Saudara perempuan dari bapak
Hadhanah Nenek, dan hubungannya dengan karakter anak

Orang yang paling berhak melakukan hadhanah adalah ibunya, kemudian neneknya dari pihak ibu, ayahnya, kemudian nenek dari pihak ayah. Pada masa Umar, pernah ada kasus perselisihan yang dihadapkan kepada Umar. Maka Umar berkata: “Dia (si anak) bersama ibunya sampai lidahnya bisa mengucapkan bahasa Arab, kemudian dia disuruh memilih (antara ibu dan ayahnya). Kemudian kalau seorang nenek (dari pihak ibu) juga berhak mengasuh si anak, karena Umar ra. Mempunyai istri seorang wanita dari kaum Anshar lalu dia melahirkan Ashim, tak lama setelah itu beliau menceraikannya, sementara itu yang mengasuh adalah ibunya, tapi setelah Umar datang kerumahnya beliau melihat Ashim (anaknya) bermain dihalaman masjid, lantas beliau ambil anak itu dan menggendongnya sambil naik kuda dan diberikan kepada neneknya, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka sampai mereka mengajukan kasusnya itu kehadapan Abu Bakar ra. Kemudian Abu Bakar memutuskan bahwa anak itu diasuh oleh neneknya sampai dia baligh. Jadi ibu si anak dan neneknya lebih berhak mengasuhnya daripada ayahnya, juga mereka lebih berhak mengasuhnya daripada pamannya.

Seorang anak pada masa permulaan hidupnya pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh/ shalehah) dikemudian hari. Disamping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah wanita.

Jika seorang ibu tidak bersedia merawat anaknya dan anak yang dimaksud masih memiliki nenek yang bersedia merawatnya, maka hal untuk merawatnya adalah neneknya karena dia juga memiliki hak untuk merawat dan mengasuh cucunya.

Nenek yang mengasuh wajib mengetahui bahwa anak kecil yang diasuhnya itu merupakan amanah yang harus dijaga dan dilindungi. Jika ia merasa tidak mampu melakukan pemeliharaan dan perlindungan yang memadai, atau pengasuhan yang sempurna, maka ia wajib menyerahkan amanah itu kepada pihak yang sanggup mengasuh dan melindunginya.

Dalam pengasuhan anak, nenek harus bisa menjadi contoh dan pengaruh yang baik bagi si anak dalam hal bersikap dan bertindak, nenek dituntut memiliki kemampuan dalam merawat, mengasuh dan memberikan pendidikan, baik dalam pendidikan agama maupun pendidikan sosial, karena hal ini lah yang akan menjadi penentu karakter si anak tersebut.

Pengertian Karakter

Karakter berasal dari bahasa latin “character” yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.

Menurut Poerwadarminta, karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Menurut Mansur Muslict, karakter adalah cara berfikir dan berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam keluarga, masyarakat dan negara.

Dari pengertian yang dijelaskan dapat dinyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

Unsur unsur karakter

Secara psikologi dan sosiologi pada manusia terdapat hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter. Unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur-unsur tersebut antara lain:
  1. Sikap. Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan dianggap cerminan karakter seseorang tersebut. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya, biasanya menunjukan karakter orang tersebut. Jadi semakin baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter baik. Dan sebaliknya, semakin tidak baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter yang tidak baik.
  2. Emosi . Emosi merupakan gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Tanpa emosi, kehidupan manusia akan terasa hambar karena manusia selalu hidup dengan berfikir dan merasa. Dan emosi identik dengan perasaan yang kuat.
  3. Kepercayaan. Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.
  4. Kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berali-kali. Sedangkan kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan yang mencerminkan perilaku orang tersebut.
  5. Konsepsi diri (Self-Conception). Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar tentang bagaimana karakter dan diri seseorang dibentuk. Jadi konsepsi diri adalah seperti bagaimana saya harus membangun diri, apa yang saya inginkan, dan bagaimana saya menempatkan diri dalam kehidupan.
Pembentukan Karakter

Karakter terbentuk dari kebiasaan. Kebiasaan saat anak-anak biasanya bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa mempengaruhi baik dan buruk, pembentukan kebiasaan anak-anak mereka.

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena pikiran yang didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berfikir yang bisa mempengaruhi perilakunya.

Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukan-nya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan lingkungan (sosial, pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sejak dilahirkan, tetapi potensi-potensi tersebut harus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

Tujuan pembentukan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik dengan tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong anak untuk tumbuh dengan kapasitas komitmen-nya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan dalam membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungan.

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, terutama pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak. Kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang turut menjadi faktor penentu pembentukan karakter / kepribadian anak. Oleh karena itu dalam hal ini kualitas komuniasi antara anak dan nenek mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari konpensasi di luar, yang besar kemungkinan akan besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Dapat disimpulkan bahwa didikan maupun pola asuh yang diterapkan nenek akan membentuk karakter bagi si anak. Karena disini nenek merupakan jembatan pertama bagi si anak dalam membentuk kepribadiannya. Apabila didikan nenek baik, maka akan terbentuk juga karakter yang baik bagi si anak, tetapi apabila didikan yang diberikan nenek salah, maka akan terbentuklah karakter yang buruk bagi si anak.

SUMBER :
  • Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet-3
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2013), Cet-1
  • Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, dkk, Fikih Muyassar: Panduan Praktis Fikih dan Hukum Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet-2
  • Al-San’ani dalam Buku Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonsia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet.1
  • Ma’mur Daud, Terjemah Hadits Shahih Muslim, (Jakarta: Widjaya, 1993), Cet-3
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Darul Haq, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet.XV
  • Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah, (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), Cet.1
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedia Fiqih Umar bin Khathab, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1999), Cet-1
Read More
      edit
Published November 29, 2018 by with 0 comment

Hadhanah Nenek, dan hubungannya dengan karakter anak

Pengertian Hadhanah

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: Hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/ urusan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya).

Hadhanah berasal dari kata al-hidhn, yaitu bagian yang terletak di bawah ketiak atau pinggul. Kalimat ﺣﻀﺎﻧﻪاﻟﺸﯿﱨ artinya sesuatu yang berada disamping. Kalimat ﺣﻀﻦاﻟﻂﺎﺋﺮﺑﻴﻀﻪ artinya burung mengayomi telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan seorang perempuan yang merawat anaknya.

Secara syariat, hadhanah (mengasuh anak) adalah menjaga anak-anak yang belum bisa membedakan (tamyiz) dan belum mandiri, dan mendidiknya dengan pendidikan yang memperbaiki jasmani dan rohaninya, serta menjaganya dari apa yang berbahaya baginya.

Definisi hadhanah menurut ahli fikih adalah aktifitas merawat anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, atau anak yang belum dewasa yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri, melakukan yang terbaik untuk dirinya, menjaga mereka dari sesuatu yang menyakiti dan menimbulkan mudharat baginya, memberikan pendidikan kepadanya baik secara jasmani, emotional dan akalnya sampai mereka mampu berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan dan memikul tanggung jawabnya.

Hadhanah adalah memelihara seseorang (anak) yang tidak bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepadanya.

Menurut Fuqaha Hanafiah, hadhanah merupakan salah satu usaha mendidik anak yang dilakukan orang yang mempunyai hak mengasuh.

Sedangkan menurut Ulama Syafi’iah, hadhanah merupakan mendidik orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa yang membahayakan meskipun orang itu telah dewasa.

Dari definisi-definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa hadhanah adalah suatu cara atau perbuatan dalam pemeliharaan anak yang masih kecil yang masih membutuhkan penjagaan, serta didikan dari orang tua agar terhindar dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan mudarat kepada anak tersebut.

Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah SWT. (QS.Al-Tahrim Ayat):

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. . . (QS. Al-Tahrim : 6)

Pada ayat ini, orangtua di perintahkan Allah SWT. Untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil adalah wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dan orang yang mendidiknya. Dalam kaitan ini, terutama ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhanah.

Kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka di hari dewasa. Orang tua memenuhi kewajibannya menurut kemampuannya. Apabila kedua orangtuanya berhalangan, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarganya yang mampu. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah Ayat 233:

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat di atas menganjurkan kedua orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya. Dan seorang ayah dibebani tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai seorang ayah, namun pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat didalamnya, tanggung jawab pemeliharaan anak. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi, apabila anak tersebut disusukan oleh wanita lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayah bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui secara makruf.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ البِنَّىِّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : جَاءَتْنِى امْرَ اَةٌ وَمَعَهَاابْنَتَا نِ ﻟَﻬَﺎفَسَاَ لَتْنِى٬فَلَمْ تَحبِدْعِنْدِ ى شَيْئًاغَيْرَتَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ،فَاَعْطَيْتُهَااِيَّاهَا،فَاَخَذَتْهَافَقَسَمَتْهَابَيْنَ ابْنَتَيْهَاوَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَاشَيْأً٬ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ وَابْنَتَاهَا٬فَدَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَدَّثْتُهُ حَدِيْثَهَا٬فَقَا لَ النَّبِىُّ صَلَّى اﷲُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ :مَنِ ابْتُلِىَ مِنَ ا لْبَنَا تِ بِشَئٍ فَاَحْسَنَ اِلَيْهِنَّ كَنَّ لَهُ سِتْرًامِنَ النَّارِ٠

Artinya: Dari ‘Aisyah r.a., istri Nabi saw. Katanya: “Pada suatu hari seorang perempuan beserta dua orang anak perempuannya datang lalu dia meminta kepadaku. Sayang sekali aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya sebuah kurma, lalu kuberikan kepadanya. Dia mengambil pemberianku itu dan membaginya dua untuk kedua anaknya. Sedang dia sendiri tidak makan apa-apa. Kemudian perempuan itu berdiri lalu pergi dengan kedua anaknya. Setelah Nabi saw. tiba, kuceritakan kepada beliau peristiwa kedatangan perempuan itu. Beliau bersabda, “Siapa mendapat cobaan (kesulitan, kesusahan, kemiskinan, dan sebagainya) dalam memelihara / merawat anak-anaknya, tetapi dia tetap berusaha merawat mereka sebaik-baiknya, maka semua cobaan itu menjadi dinding baginya dari neraka.”

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai dengan adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak, tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan cinta dan kasih sayang, turut menjadi faktir penentu pembentukan kepribadian anak. Kualitas komunikasi antara anak dan orang tuanya mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari kompensasi diluar, yang besar kemungkinan akan lebih besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Karena itu nasihat bijak seorang ahli hikmah yang diabadikan al-Qur’an. Hal ini perlu mendapat penekanan, karena tidak jarang kasus-kasus yang terjadi kenakalan remaja adalah salah satu akibat pemahaman orang tua bahwa pemeliharaan anak telah terpenuhi manakala kebutuhan materiil mereka tercukupi. Mereka tidak sempat mengontrol anak-anak mereka. Cakupan tanggung jawab pemeliharaan terhadap anak menurut nasihat Luqman tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam surah luqman ayat: 13

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Didalam ayat ini luqman mengajarkan anaknya agar tidak menyekutukan Allah SWT. karena menyekutukan Allah adalah perbuatan kezaliman yang besar, yang tidak akan diampuni oleh Allah.

Dan pada QS.Luqman ayat: 16-17 yang menjelaskan tentang perbuatan dan menaati perintah Allah SWT:

Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Demikianlah beberapa pokok nasihat Luqman al-Hakim kepada putranya, kewajiban orang tua yang harus dipenuhi. Sebab kegagalan memelihara anak dalam membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merugikan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tuanya pun akan menderita kerugian yang tidak kecil. Karena kelak diakhirat, mereka dituntut untuk mempertanggung jawabkannya. Yang jelas peranan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap arah dan perkembangan keagamaan anak.

Syarat Hadhanah
  1. Berakal Sehat. Bagi orang yang kurang sehat akalnya atau gila, tidak boleh menangani hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, maka ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain.
  2. Dewasa. Hal ini karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetap membutuhkan orang lain yang mengurusinya dan mengasuhnya. Karena itu, dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
  3. Mampu mendidik. Karena itu, tidak boleh menjadi pengasuh bagi orang buta atau rabun, sakit menular, atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus anak kecil, sudah berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya, atau bukan orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kpeentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang kurang baik.
  4. Amanah dan berbudi. Sebab orang yang curang tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.
  5. Islam. Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim, sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan seorang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Allah SWT. Berfirman: Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ :141). Dan juga ditakutkan bahwa anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya dan dididik dengan tradisi agamanya sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut.
  6. Ibunya belum menikah lagi. Jika si ibu tela menikah lagi dengan laki-laki lain, maka hak hadhanahnya hilang. Hukum ini berkenaan dengan si ibu tersebut apabila ia menikah lagi dengan laki-laki lain tetapi kalau menikah dengan laki-laki yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, maka hak hadhanahnya tidak hilang. 
  7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibnu Qayyim berkata, “Tentang syarat-syarat merdeka ini tidaklah ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga mazhab sajalah yang menetapkannya. “Dan Imam Malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang memiliki anak dari budak perempuannya, “Sesungguhnya ibunya lebih berhak terhadap anaknya selama ia tidak dijual. Jika ia dijual maka hak hadhanahnya berpindah, dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.”Dan pendapat ini lah yang benar.
Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.

Dari syarat-syarat diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang berhak melakukan hadhanah adalah orang yang benar-benar mampu dan memenuhi semua persyaratan untuk menjadi hadhun.

Batas Umur Hadhanah

Batas waktu/umur hadhanah adalah, anak laki-laki hingga baligh, sedang anak perempuan hingga menikah dan telah digauli oleh suaminya. Jika seorang istri berpisah dari suaminya, dan ibunya yang mengasuh anaknya atau wanita lainnya, maka jangka waktu hadhanahnya bagi pihak wanita adalah hingga usia anak yang diasuh mencapai usia tujuh tahun, dan setelah itu hak hadhanahnya berpindah ke pihak laki-laki, karena pihak laki-laki lebih utama melakukannya setelah usai anak kecil yang dihadhanahi mencapai usia tujuh tahun dari pada pihak wanita.

Pada dasarnya permasalahan pengasuhan anak tidak memiliki batas waktu tertentu. Namun yang mesti menjadi ukuran dalam masalah ini adalah usia mumayyiz dan kemampuan anak untuk hidup mandiri. Jika si anak telah mencapai usia mumayyiz, tidak lagi membutuhkan perawatan dari seorang perempuan (pengasuh) dan sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, maka pengasuhannya sudah dianggap berakhir.

Ketetapan fatwa dalam Mazhab Hanafi dan Mazhab yang lain menegaskan bahwa masa pengasuhan berakhir jika seorang si anak telah berusia 7 tahun pada anak laki-laki dan 9 tahun bagi anak perempuan. Ketepatan usia lebih pada anak perempuan diharapkan agar dia dapat mencontoh kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan pada umumnya, termasuk ibu asuhnya.

Para Ahli Fiqh berbeda pendapat tentang batas umur bagi anak kecil laki-laki tidak memerlukan hadhanah. Sebagian mereka menetapkan 7 tahun, sebagian lagi 9 tahun, dan yang lain lagi adalah 11 tahun.

Adapun lamanya masa mengasuh, ada beberapa pendapat, yang dikemukakan oleh beberapa Imam Mazhab.
  1. Imam Syafi’i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 (tujuh) atau 8 (delapan) tahun.
  2. Ulama-ulama Hanafiah, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri, sedang anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya.
  3. Imam Malik mengatakan bahwa, ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia menikah. Sedang bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia balig.
Dalam KHI pasal 98 tentang pemeliharaan anak disebutkan bahwa:
  1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
  2. Orang tua mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
  3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan untuk bekal mereka dihari dewasa.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 45 juga mengemukakan:
  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 47:
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
  2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Ketentuan pasal-pasal tersebut relevan sekali dengan nasihat Luqman al-Hakim seperti telah dikemukakan. Jadi kewajiban orang tua telah terpenuhi, apabila si anak telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin. Yang menarik adalah Undang-undang Perkawinan justru menekankan kewajiban anak terhadap orang tua, yang tampaknya dalam kompilasi tidak diatur secara tegas dan rinci. Bagaimanapun juga antara hak dan kewajiban adalah penyeimbang. Kewajiban orang tua merupakan hak pemeliharaan yang diterima anak. Ketika anak menerima haknya, anak perlu memenuhi kewajibannya terhadap orang tuanya.

Urutan Orang yang berhak melaksanakan Hadhanah

Dalam hal hadhanah, yang pertama kali mempunyai hak hadhanah adalah ibunya. Para ahli fiqih kemudian memperhatikan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah dalam menangani masalah hadhanah, dan urutan-urutannya sebagai berikut:
  1. Ibu
  2. Ibunya ibu 
  3. Ibunya ayah
  4. Neneknya ibu
  5. Neneknya ayah
  6. Saudara perempuan seayah dan seibu
  7. Saudara perempuan seibu
  8. Anak perempuan dari saudara seayah dan seibu
  9. Anak perempuan dari saudara seibu
  10. Bibi dari ibu yang seayah dan seibu
  11. Bibi dari ibu yang seibu
  12. Bibi dari ayah yang seayah dan seibu.
Bila tidak ada seorang pun dari kerabat-kerabat perempuan, maka tanggung jawab pemeliharaan itu diserahkan kepada keluarga lelaki dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ayah
  2. Ayahnya ayah terus ke atas (Kakek)
  3. Saudara lelaki ayah yang sekandung
  4. Saudara lelaki ayah yang seayah
  5. Paman yang sekandung dengan ayahnya ayah
  6. Paman yang seayah dengan ayahnya ayah
Jika para wali-wali yang sah tiada, maka hakim atau pengadilan menunjuk seorang wali untuk melindungi harta anak yang masih kecil itu.

Drs. H. Ibnu Mas’ud dalam bukunya Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa, orang yang paling utama untuk mengasuh anak adalah dengan urutan sebagai berikut:
  1. Ibu yang belum menikah dengan laki-laki lain
  2. Ibu dari ibu, dan seterusnya ke atas 
  3. Bapak 
  4. Ibu dari bapak (nenek)
  5. Saudara yang perempuan
  6. Tante (bibi)
  7. Anak perempuan
  8. Anak perempuan dari saudara laki-laki 
  9. Saudara perempuan dari bapak
Hadhanah Nenek, dan hubungannya dengan karakter anak

Orang yang paling berhak melakukan hadhanah adalah ibunya, kemudian neneknya dari pihak ibu, ayahnya, kemudian nenek dari pihak ayah. Pada masa Umar, pernah ada kasus perselisihan yang dihadapkan kepada Umar. Maka Umar berkata: “Dia (si anak) bersama ibunya sampai lidahnya bisa mengucapkan bahasa Arab, kemudian dia disuruh memilih (antara ibu dan ayahnya). Kemudian kalau seorang nenek (dari pihak ibu) juga berhak mengasuh si anak, karena Umar ra. Mempunyai istri seorang wanita dari kaum Anshar lalu dia melahirkan Ashim, tak lama setelah itu beliau menceraikannya, sementara itu yang mengasuh adalah ibunya, tapi setelah Umar datang kerumahnya beliau melihat Ashim (anaknya) bermain dihalaman masjid, lantas beliau ambil anak itu dan menggendongnya sambil naik kuda dan diberikan kepada neneknya, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka sampai mereka mengajukan kasusnya itu kehadapan Abu Bakar ra. Kemudian Abu Bakar memutuskan bahwa anak itu diasuh oleh neneknya sampai dia baligh. Jadi ibu si anak dan neneknya lebih berhak mengasuhnya daripada ayahnya, juga mereka lebih berhak mengasuhnya daripada pamannya.

Seorang anak pada masa permulaan hidupnya pada umur tertentu, memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya. Oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (saleh/ shalehah) dikemudian hari. Disamping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Dan orang yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah wanita.

Jika seorang ibu tidak bersedia merawat anaknya dan anak yang dimaksud masih memiliki nenek yang bersedia merawatnya, maka hal untuk merawatnya adalah neneknya karena dia juga memiliki hak untuk merawat dan mengasuh cucunya.

Nenek yang mengasuh wajib mengetahui bahwa anak kecil yang diasuhnya itu merupakan amanah yang harus dijaga dan dilindungi. Jika ia merasa tidak mampu melakukan pemeliharaan dan perlindungan yang memadai, atau pengasuhan yang sempurna, maka ia wajib menyerahkan amanah itu kepada pihak yang sanggup mengasuh dan melindunginya.

Dalam pengasuhan anak, nenek harus bisa menjadi contoh dan pengaruh yang baik bagi si anak dalam hal bersikap dan bertindak, nenek dituntut memiliki kemampuan dalam merawat, mengasuh dan memberikan pendidikan, baik dalam pendidikan agama maupun pendidikan sosial, karena hal ini lah yang akan menjadi penentu karakter si anak tersebut.

Pengertian Karakter

Karakter berasal dari bahasa latin “character” yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.

Menurut Poerwadarminta, karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Menurut Mansur Muslict, karakter adalah cara berfikir dan berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam keluarga, masyarakat dan negara.

Dari pengertian yang dijelaskan dapat dinyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

Unsur unsur karakter

Secara psikologi dan sosiologi pada manusia terdapat hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter. Unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter seseorang. Unsur-unsur tersebut antara lain:
  1. Sikap. Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, bahkan dianggap cerminan karakter seseorang tersebut. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya, biasanya menunjukan karakter orang tersebut. Jadi semakin baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter baik. Dan sebaliknya, semakin tidak baik sikap seseorang maka akan dikatakan orang dengan karakter yang tidak baik.
  2. Emosi . Emosi merupakan gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Tanpa emosi, kehidupan manusia akan terasa hambar karena manusia selalu hidup dengan berfikir dan merasa. Dan emosi identik dengan perasaan yang kuat.
  3. Kepercayaan. Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.
  4. Kebiasaan dan kemauan. Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada waktu yang lama, tidak direncanakan dan diulangi berali-kali. Sedangkan kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan yang mencerminkan perilaku orang tersebut.
  5. Konsepsi diri (Self-Conception). Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar tentang bagaimana karakter dan diri seseorang dibentuk. Jadi konsepsi diri adalah seperti bagaimana saya harus membangun diri, apa yang saya inginkan, dan bagaimana saya menempatkan diri dalam kehidupan.
Pembentukan Karakter

Karakter terbentuk dari kebiasaan. Kebiasaan saat anak-anak biasanya bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa mempengaruhi baik dan buruk, pembentukan kebiasaan anak-anak mereka.

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena pikiran yang didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berfikir yang bisa mempengaruhi perilakunya.

Karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukan-nya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan lingkungan (sosial, pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sejak dilahirkan, tetapi potensi-potensi tersebut harus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini.

Tujuan pembentukan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik dengan tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong anak untuk tumbuh dengan kapasitas komitmen-nya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar serta memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan dalam membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungan.

Dalam konteks kehidupan modern yang ditandai adanya globalisasi dalam semua aspek kehidupan manusia, terutama pemeliharaan anak perlu dipahami secara lebih luas dan menyeluruh. Ini dimaksudkan, agar orang tua tidak hanya memprioritaskan kewajibannya pada terpenuhinya kebutuhan materiil si anak. Kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang turut menjadi faktor penentu pembentukan karakter / kepribadian anak. Oleh karena itu dalam hal ini kualitas komuniasi antara anak dan nenek mutlak perlu mendapat perhatian. Apabila hal ini tidak terpenuhi, pada akhirnya si anak akan mencari konpensasi di luar, yang besar kemungkinan akan besar mendapat pengaruh negatif dari pergaulan mereka.

Dapat disimpulkan bahwa didikan maupun pola asuh yang diterapkan nenek akan membentuk karakter bagi si anak. Karena disini nenek merupakan jembatan pertama bagi si anak dalam membentuk kepribadiannya. Apabila didikan nenek baik, maka akan terbentuk juga karakter yang baik bagi si anak, tetapi apabila didikan yang diberikan nenek salah, maka akan terbentuklah karakter yang buruk bagi si anak.

SUMBER :
  • Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet-3
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2013), Cet-1
  • Abdul Aziz Mabruk Al-Ahmadi, dkk, Fikih Muyassar: Panduan Praktis Fikih dan Hukum Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet-2
  • Al-San’ani dalam Buku Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonsia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet.1
  • Ma’mur Daud, Terjemah Hadits Shahih Muslim, (Jakarta: Widjaya, 1993), Cet-3
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Darul Haq, Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2016), Cet.XV
  • Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah, (Jakarta: Beirut Publishing, 2014), Cet.1
  • Slamet Abidin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet.1
  • Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedia Fiqih Umar bin Khathab, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1999), Cet-1
Read More
      edit