Monday, November 19, 2018

Published November 19, 2018 by with 0 comment

Pengertian Kualitas Interaksi Atasan Bawahan

Pengertian Kualitas Interaksi Atasan Bawahan

Teori kualitas interaksi atasan-bawahan merupakan pendekatan terhadap kepemimpinan dengan melihat hubungan antara atasan dan bawahan. Dalam hubungan tersebut ditemukan perbedaan sikap yang diterima bawahan dari atasannya. Perbedaan itu membentuk kelompok terpisah yang menerangkan hubungan atasan dan bawahan yang disebut in-group dan out group (Robbin, dalam Muhaimin, 2011).

Pada in-group, terjalin hubungan yang berkualitas tinggi antara atasan dan bawahan. Hal ini dapat disebabkan karena antara atasan dan bawahan memiliki kesamaan karakteristik kepribadian dan persamaan sikap atau bawahan dalam kelompok ini memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan bawahan pada kelompok out-group. Perbedaan antara in group dan out group akan menentukan kualitas interaksi atasan-bawahan dalam sebuah perusahaan. Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang diharapkan oleh atasan mereka (dalam Muhaimin, 2011).

Menurut Yukl (dalam Muhaimin, 2011), dasar pemikiran dari teori kualitas interaksi atasan-bawahan adalah bahwa para pemimpin mengembangkan hubungan atasan-bawahan yang berbeda dengan masing-masing bawahan. Sementara menurut Robbins, kualitas interaksi atasan-bawahan dapat didefinisikan sebagai: “The creation by leaders of in-groups and out-groups; subordinates with in group status will have higher performance ratings, less turnover, and greater job satisfaction.” (Robbins dalam Muhaimin, 2011).

Miner (dalam Muhaimin, 2011) mengemukakan bahwa interaksi atasan-bawahan yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti meningkatnya kepuasan kerja, produktivitas, dan kinerja karyawan. Riggio (dalam Muhaimin, 2011) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi.

Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh atasan mereka. Hasil ini mendukung perspektif pertukaran sosial yang mana seorang pekerja mungkin akan membantu seorang pemimpin dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang diinginkan dengan baik, dan bahkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik daripada yang seharusnya dengan harapan akan mendapatkan imbalan dari pemimpin melalui kualitas interaksi atasan-bawahan (Wayne et al, dalam Muhaimin, 2011).

Menurut Tosi, et.al. (dalam Marlina, 2008) hubungan atasan-bawahan merupakan hubungan yang berdasar peran, karena hubungan itu terjadi dalam proses pembentukan peran seorang bawahan dalam interaksinya dengan atasannya. Hasil proses pembentukan peran tersebut adalah bervariasinya kualitas interaksi atasan-bawahan.

Berdasarkan pengertian diatas maka kualitas interaksi atasan - bawahan adalah hubungan yang berdasarkan peran yang terjadi dalam proses interaksi pemimpin mengembangkan hubungan atasan-bawahan yang berbeda dengan masing-masing bawahannya, yang apabila interaksi atasan-bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya dan begitu pula bawahan terhadap atasannya.

Dimensi dalam Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan

Liden dan Maslyn (dalam Bela, 2014) dijelaskan bahwa kualitas interaksi atasan-bawahan adalah multi dimensional dan memiliki empat dimensi yaitu:
  1. Contribution (Konstribusi). Kontribusi berkaitan dengan kegiatan yang berorientasi pada tugas ditingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama. Hal penting dalam mengevaluasi kegiatan yang berorientasikan pada tugas adalah suatu tingkat dimana bawahan bertanggung jawab dan menyelesaikan tugas melebihi uraian kerja, demikian halnya pada atasan yang menyediakan sumber daya dan kesempatan untuk melakukan hal tersebut.
  2. Loyality (Loyalitas). Loyalitas adalah ungkapan untuk mendukung penuh tujuan dan sifat individu lainnya dalam hubungan timbal balik atasan dan bawahan. Loyalitas menyangkut pada kesetiaan penuh terhadap seseorang secara konsisten dari suatu situasi ke situasi lainnya.
  3. Affect (Pengaruh). Afeksi adalah perasaan, kepedulian di antara atasan dan bawahannya terutama yang berdasarkan pada daya tarik antar individu dan bukan hanya pada pekerjaan atau nilai profesionalnya saja. Bentuk kepedulian yang demikian mungkin saja dapat ditunjukkan dalam suatu keinginan untuk melakukan hubungan yang menguntungkan dan bermanfaat, seperti antar sahabat.
  4. Profesional Respect (Rasa Hormat). Respek terhadap profesi adalah persepsi mengenai sejauh mana pada setiap hubungan timbal balik telah memiliki dan membangun reputasi di dalam dan di luar organisasi, melebihi apa yang telah ditetapkan di dalam pekerjaan.

Menurut Wakabayashi dan Graen (dalam Marlina, 2008), untuk mengukur tinggi rendahnya kualitas interaksi atasan-bawahan maka aspek-aspek yang harus diperhatikan adalah :
  1. Kemampuan atasan melakukan pendekatan (approachability) dan kemampuan atasan bertindak luwes (flexibility) terhadap bawahannya.
  2. Kesediaan untuk menggunakan kekuasaan otoritasnya untuk membantu bawahan memecahkan masalah yang dihadapi Kejelasan dari harapan (expectation) dan umpan balik (feedback) atasan yang ditujukan pada bawahan.
  3. Kemampuan bawahan untuk mempengaruhi atasan untuk mengubah peran yang dimainkan.
  4. Kesempatan bawahan untuk bersama-sama dengan atasan melakukan aktivitas sosial dan santai setelah jam kerja.

Berdasarkan penjelasan diatas tentang dimensi-dimensi kualitas interaksi atasan bawahan adalah affect yaitu ketertarikan secara pribadi dengan adanya afeksi timbal balik, loyalty yaitu kepercayaan bawahan terhadap atasannya, contribution yaitu adanya kesediaan dalam memberikan kontribusi melebihi standar kerjanya, profesional respect yaitu bawahan dan pemimpin saling memberi rasa hormat terhadap satu sama lain.

Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Interaksi Atasan – Bawahan

Liden et. al, (dalam Muhaimin, 2011) menyebutkan faktor - faktor yang berperan dalam mempengaruhi kualitas interaksi antara atasan dan bawahan. Faktor-faktor tersebut antara lain:
  1. Ekspektasi Pengharapan.. Seseorang akan memiliki harapan-harapan atau ekspektasi terhadap orang lain. Dalam interaksi atasan-bawahan, seseorang membentuk ekspektasi melalui informasi yang tersedia mengenai target personal tersebut. Informasi bagi seorang atasan mengenai bawahannya dapat diperoleh melalui penilaian hasil tes, rekomendasi, wawancara, atau pengamatan secara langsung di tempat kerja. Sebaliknya, bawahan memperoleh informasi tentang atasannya melalui rekan kerja, wawancara personal dan juga pengamatanlangsung di tempat kerja. Menurut Motowidlo (dalam Muhaimin, 2011), informasi yang tersedia itu akan menjadisampel yang mempresentasikan siapa sebenarnya orang yang menjadi sasaran pengamatan. Sampel informasi itu bisa negatif atau positif yang selanjutnya akan membentuk persepsi tentang orang tersebut dan menghasilkan harapan baik negatif maupun positif terhadap seorang atasan - bawahan. Harapan ini akan mempengaruhi proses interaksi antara dua belah pihak. Adanya harapan yang positif dari seorang atasan terhadap bawahannya akan mendorong atasan untuk membangun kepercayaan kepada bawahan dan menyediakan feedback yang membangun, imbalan yang sesuai, serta kesempatan pelatihan yang lebih besar. Sebaliknya, harapan yang negatif dari seorang atasan akan dimanifestasikan dalam pendelegasian tugas yang rutin dan monoton serta penyediaan feedback, imbalan dan kesempatan mengikuti pelatihan yang sedikit pula. Di lain pihak, bawahan yang memiliki harapan positif pada atasannya akan lebih responsif dan lebih mempunyai komitmen pada organisasi dan sebaliknya.
  2. Kinerja. Teori kualitas interaksi atasan-bawahan didapatkan pada konsep pembentukan peran dan social exchange. Kinerja bawahan merupakan bagian penting dalam proses tersebut (Dienesch dan Liden, dalam Muhaimin, 2011). Atasan akan menguji dan mengevaluasi kinerja bawahan. Bila kinerja pegawai dianggap memuaskan pada tahap tertentu, maka hal tersebut akan meningkatkan kualitas interaksi atasan-bawahan selanjutnya. Proses penilaian peran juga dilakukan oleh bawahan, dimana seorang bawahan yang menilai positif atasannya akan mempengaruhi interaksi vertikal menjadi lebih baik pula.
  3. Adanya Perasaan Kesamaan dan Rasa Suka. Faktor lain yang dianggap dominan dalam mempengaruhi pembentukan tipe interaksi adalah kesamaan antara dua belah pihak baik dari segi sikap, kepribadian, dan karakteristik demografi. Faktor afeksi dalam interaksi antara atasan - bawahan dinilai memegang peranan penting (Dienesch dkk, dalam Muhaimin, 2011). Dalam penelitian Philips dan Badeian (dalam Muhaimin, 2011), juga didapatkan hasil bahwa persamaan sikap merupakan faktor penting yang mempengaruhi interaksi antara atasan-bawahan.
  4. Kesamaan Demografi. Kesamaan karakteristik individual antara atasan-bawahan seperti usia, ras, gender, tingkat pendidikan dan jabatan diprediksi dapat mempengaruhi proses interaksi. Faktor ini memang akan menimbulkan bias karena subjektivitas yang tinggi. Atasan akan memiliki kemungkinan untuk mengelompokkan bawahan in group bukan dari observasi yang actual, melainkan karena kesamaan karakteristik individual.

Dari beberapa faktor diatas, maka dapat disimpulakn bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas interaksi atasan - bawahan diantaranya ekspektasi pengharapan, kinerja, adanya perasaan kesamaan dan rasa suka, dan kesamaan demografi.
      edit

0 comments:

Post a Comment