Thursday, September 12, 2019

Published September 12, 2019 by with 0 comment

Pengertian Jual Beli dalam Empat Mazhab

Pengertian Jual Beli dalam Empat Mazhab

Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu “jual dan beli”. Sebenarnya kata “jual” dan “beli” mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.

Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak yang lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.Dari ungkapan di atas terlihat bahwa perjanjian jual beli itu terlibat dua pihak yang saling menukar atau melakukan pertukaran.

Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bāi’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bāi’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asysyirā‘ (beli). Dengan demikian, kata al-bāi’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.

Jual beli menurut pengertian bahasa adalah saling menukar (pertukaran). Kata al-bāi’ (jual) dan asy-syirā‘ (beli) dipergunakan (biasanya) dalam pengertian yang sama. Kata lain dari al-bāi’ adalah, at-Tijārah dan al- Mubādalah. Berkenaan dengan kata at-Tijārah, dalam Al-Quran surat Fātir ayat 29 dinyatakan: Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. (Q.S. Fātir: 29)”.

Menurut istilah terdapat beberapa definisi jual beli, sebagai berikut :
  1. Memilikkan kepada seseorang sesuatu barang dengan menerima dari padanya harta (harga), atas dasar keridhaan kedua belah pihak (pihak penjual dan pihak pembeli).
  2. Menukar sesuatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).
  3. Pertukaran harta tertentu dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya atau memindahkan hak milik dengan hak milik lain berdasarkan persetujuan dan hitungan materi.
Adapun jual beli menurut beberapa ulama :
  • Ulama Hanafiyah: “Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”. Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan ulama Hanafiyah adalah melalui ijāb (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabūl (pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Selain itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia. Sehingga bangkai, minuman keras, dan darah, tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah jual belinya tidak sah.
  • Definisi lain dikemukakan ulama Hanabilah, jual beli adalah: “Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.” Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik dan pemilikan”, karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (Ijārah).
  • Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’: “Pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki”.
  • Mazhab Maliki. Menurut Mazhab Maliki, jual beli atau bai’ menurut istilah ada dua pengertian, yakni :
    1. Pengertian untuk seluruh satuannya bai’ (jual beli), yang mencakup akad sharaf, salam dan lain sebagainya.
    2. Pengertian untuk satu satuan dari beberapa satuan yaitu sesuatu yang dipahamkan dari lafal bai’ secara mutlak menurut uruf (adat kebiasaan).
  • Mazhab Syafi’i. Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan bahwa jual beli menurut syara’ ialah akad penukaran harta dengan harta dengan cara tertentu.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati.

Dengan demikian yang dimaksud dengan jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang yang lainnya atau memindahkan hak milik dengan suatu ganti yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atas dasar suka sama suka antara keduanya.

Secara garis besar prinsip-prinsip hukum Islam yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan aktifitas muamalah, menurut Ahmad Azhar Basyir adalah sebagai berikut:

Prinsip pertama, mengandung maksud bahwa hukum Islam memberikan kebebasan pada setiap orang yang melaksanakan akad muamalah dengan ketentuan atau syarat-syarat apa saja sesuai yang diinginkan, asalkan dalam batas-batas tidak bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama.

Prinsip kedua, memperingatkan agar kebebasan kehendak pihak-pihak yang bersangkutan selalu diperhatikan. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak seperti adanya unsur paksaan ataupun unsur penipuan, berakibat tidak dibenarkannya suatu bentuk akad muamalah. Antara kedua belah pihak yaitu penjual dan pembelisama-sama rela dalam melaksanakan transaksi jual beli tersebut.

Prinsip ketiga, memperingatkan bahwa suatu bentuk akad muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan dari madharat dalam hidup masyarakat, dengan akibat bahwa segala bentuk muamalah yang merusak kehidupan masyarakat tidak boleh. Dalam hal ini kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli samasama mendapatkan manfaat, pembeli mendapatkan cabe apabila beruntung dan penjual mendapatkan uang.

Prinsip keempat, menegaskan bahwa dalam melaksanakan hubungan muamalah harus ditegakkan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, tanpa mengandung unsur gharar dan jelas dalam praktiknya. Praktik dilapangan tidak mengedepankan prinsip keadilan karena pada sistem tarik benang ini mengandung unsur ketidakpastian (gharar) hal ini tentu akan berdampak pada kerugian disalah satu pihak.

SUMBER :
  • Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000)
  • Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2006)
  • Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992)
  • T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)
  • Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Az-Ziayadah, 2014)
  • Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005)
  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988)
  • Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000)
  • Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)
  • Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani al-Fadz al-Manhaj, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994)
  • Imam Abi Zakaria Muhyi al-Din bin Syarf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 9, (Beirut: Dar al-Fikr)
      edit

0 comments:

Post a Comment