Saturday, January 12, 2019

Published January 12, 2019 by with 0 comment

Sistem Pengelolaan Zakat Fitrah Menurut Syariat Islam

Pengertian Zakat Fitrah

Zakat fitrah merupakn salah satu kewajiban umat islam, lebih dari itu zakat fitrah merupakan sarana atau media untuk saling tolong menolong antar umat Islam dari yang mampu kepada yang tidak mampu. Tetapi pada kenyataannya, zakat fitrah masih banyak yang kurang paham sehingga setiap pembagian sering keliru sasarannya.

Zakat Fitrah ini dimaksudkan untuk membersihkan dosa-dosa yang pernah dilakukan selama Puasa Ramadhan, agar orang-orang itu benar-benar kembali kepada keadaan Fitrah, dan juga untuk menggembirakan hati fakir miskin pada hari raya idul fitri, ini merupakan jenis sedekah yang yang harus dikeluarkan pada akhir bulan Ramadhan.

Dari pengertian di atas dapat ditarik dua pengertian tentang Zakat Fitrah. Pertama, Zakat Fitrah adalah zakat untuk kesucian. Artinya, zakat ini dikeluarkan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan atau perilaku yang tidak ada manfaatnya.

Kedua, Zakat Fitrah adalah Zakat karena sebab ciptaan. Artinya bahwa Zakat Fitrah adalah Zakat yang diwajibkan kepada setiap orang yang dilahirkan ke dunia ini. Oleh karenanya Zakat ini bisa juga disebut dengan Zakat badan atau pribadi.
  1. Waktu Pembayaran Zakat Fitrah. Zakat fitrah itu boleh dibayarkan sejak bulan Ramadhan sampai menjelang shalat idul fitri. Berikut ini adalah waktu-waktu mengeluarkan Zakat Fitrah:
    • Waktu yang diperbolehkan, yakni sejak awal Ramadhan sampai akhir bulan Ramadhan.
    • Waktu wajib, yakni semenjak terbenam matahari akhir Ramadhan.
    • Waktu yang afdhal (sunnah), yakni setelah shalat subuh sebelum shalat idul fitri.
    • Waktu makruh, yakni sesudah shalat Ied sampai terbenam matahari.
Sedangkan waktu membagikan zakat fitrah ialah sebelum orang-orang keluar menuju shalat hari raya dan menyampaikan kepada fakir miskin itu sebelum sembahyang. Maka hendaklah kita yang memberikan kepada badan ‘Amalah mendahulukan memberinya, agar badan ‘amalah itu dapat menyampaikan kepada yang berhak, pada waktu yang tepat sebelum bersembahyang.

Dari uraian di atas, maka makna Zakat Fitrah, yaitu Zakat yang disebabkannya adalah selesainya seorang muslim menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, sebagai penyucian diri dari segala kekotoran yang terjadi selama berpuasa. Disebut pula dengan sadaqah fitrah, kita telah menjelaskan bahwa lafaz (sadaqah) menurut syara’ dipergunakan sebagai zakat yang diwajibkan, sebagaimana yang terdapat pada berbagai tempat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dipergunakan pula sadaqah itu untuk Zakat Fitrah, seolah-olah sedekah dari fitrah atau asal kejadian, sehingga wajibnya Zakat Fitrah untuk mensucikan diri dan membersihkan perbuatannya.

Dengan demikian jelasah bahwa hukum Zakat Fitrah adalah wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan yang beragama Islam.

Hikmah dan Tujuan Zakat Fitrah
  1. Hikmah Zakat Fitrah. Zakat fitrah disyari’atkan pada bulan Sya’ban tahun yang kedua Hijrah untuk menjadikan pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan, ataupun perkataan yang sia-sia dan perkataan-perkataan keji yang mungkin telah dilakukan dalam bulan puasa serta untuk menjadi penolong bagi penghidupan orang fakir dan orang yang berhajat. Adapun hikmah Zakat Fitrah terdiri dari dua hal yaitu : Pertama, yang berhubungan dengan orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan. Mendidik jiwa manusia agar suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat-sifat kikir dan bakhil, kadangkala di dalam berpuasa itu orang-orang terjerumus pada omongan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya, padahal puasa yang sempurna itu adalah puasa pula lidah dan anggota tubuhnya. Tidak diizinkan bagi orang yang berpuasa, baik lidahnya, telinganya, matanya, hidungnya, tangannya, maupun kakinya mengerjakan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, baik ucapan maupun perbuatan akan tetapi manusia dengan kelemahannya sebagai manusia, tidak bisa melepaskan dirinya dari hal-hal tersebut sehingga datanglah kewajiban Zakat Fitrah diakhir bulan, yang seperti pembersih atau kamar mandi untuk membersihkan orang dari kemudharatan yang menimpa dirinya, atau membersihkan kotoran puasanya, atau menambal segala yang kurang, sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghilang segala yang kotor. Kedua, yang berhubungan dengan masyarakat, menimbulkan rasa kecantikan orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkannya, zakat juga dapat memelihara harta orang kaya dari perbuatan orang-orang jahat yang diakibatkan oleh kesengajaan sosial.
  2. Tujuan Zakat Fitrah. Adapun tujuan zakat fitrah antara lain :
    • Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan.
    • Membantu permecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharim, Ibnu Sabil dan Mustahiq umumnya.
    • Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.
    • Menghilangkan sifat fakir dan loba pemilik harta.
    • Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin.
    • Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat.
    • Mengembang rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta.
    • Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
    • Sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial. Juga zakat bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Golongan Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Orang-orang yang berhak menerima Zakat Fitrah ini sama halnya yang berhak menerima Zakat Mal. Maksudnya Zakat tersebut hendaklah dibagikan kepada golongan yang telah ditetapkan Allah SWT dalam firmannya:

”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah : 60). Penjelasannya sebagai berikut :
  1. Fakir. Fakir adalah orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena tidak bisa usaha. Dan juga orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan. Walaupun misalnya, ia memiliki rumah tempat tinggal, pakaian yang pantas bagi dirinya, ia tetap dianggap fakir selama sebagian besar kebutuhan hidup yang diperlukannya tidak terpenuhi olehnya. Berkenaan dengan masalah fakir ini perlu diperhatikan:
    • Orang yang jauh dari hartanya, atau mempunyai piutang tetapi belum jatuh temponya, tetap berhak atas zakat sebagai orang fakir.
    • Orang yang cakap berusaha, tetapi tidak dapat melakukannya karena sibuk dengan kegiatan menuntut atau mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu-ilmu lain yang tergolong fardhu kifayah, boleh menerima zakat sebagai fakir, tetapi mereka yang dapat belajar sambil berusaha, atau yang tidak cukup cerdas untuk dapat menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya, atau yang tinggal di madrasah tanpa belajar, tidak berhak menerima zakat.
    • Orang yang tidak berusaha karena menyembunyikan diri dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah, tidak dibenarkan menerima zakat sebagai orang fakir, sebab berusaha dan hidup mandiri lebih baik dari pada melakukan ibadah sunnah, tetapi tergantung atau selalu mengharapkan bantuan orang lain.
    • Orang yang kebutuhannya dicukupi oleh kerabat atau suaminya tidak berhak atas zakat sebagai fakir. Orang fakir diberikan bagiannya dalam jumlah yang dapat menutupi keperluannya masing-masing. Misalnya, orang yang jauh dari hartanya diberikan biaya untuk sampai ketempat hartanya, yang mempunyai piutang diberikan belanja menunggu masa pembayaran-nya, yang dapat bekerja diberikan peralatan yang dapat digunakannya untuk bekerja dan yang pandai berdagang diberi modal yang memadai untur berdagang sesuai dengan keahliannya.
  2. Miskin. Definisi miskin menurut hukum Islam yaitu orang yang bisa usaha, tetapi penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sebagaimana firman Allah SWT :”adapun bahtera iyu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut” (QS. Al-Kahfi : 79).
Orang miskin dalam ayat ini masih punya bahtera, tetapi ada juga yang berpendapat kebalikannya, yakni bahwa orang miskin itu orang yang masih memiliki sesuatu meski kurang dari kebutuhannya, sedangkan orang fakir itu orang yang sama sekali tak punya apa-apa. orang fakir atau miskin yang masih kerabat dengan kita itu harus kita utamakan, karena ada hak kekerabatan padanya, dan begitu pila orang fakir yang saleh adalah lebih patut diberi dari pada yang lain.

Abu hanifah berpendapat, makruh memberikan lebih dari satu nisab zakat kepada orang miskin, tetapi menurut malik dan Syafi’i, jumlah yang diberikan kepada mereka sama sekali tidak dibatasi. Bila keadaannya menghendaki, seorang fakir atau miskin dapat saja diberikan melebihi satu nisab.
  1. Pengurusan-pengurusan Zakat (Amil). Mereka adalah petugas yang mengumpulkan Zakat dari para wajib Zakat dan membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya, seperti petugas yang mengutip, mencatat harta yang terkumpul, membagi-bagi, dan mengumpul para wajib zakat atau mengumpul para mustahiq, tetapi para qadi dan pejabat pemerintahan tidak termasuk dalam kelompok amil. Amil dapat menerima bagian dari zakat hanya sebesar upah yang pantas untuk pekerjaannya. Bila bagian amil ternyata lebih besar dari jumlah upahnya, maka sisanya dialihkan kepada mustahiq yang lainnya, iman harus memenuhi upah mereka.
  2. Mu’allaf. Mu’allaf ialah orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah. Mu’allaf itu bermacam-macam diantaranya :
    • Orang kafir yang bisa diharapkan masuk Islam. Oleh Nabi SAW, mereka diberi Zakat agar hhati mereka lunak dan terdorong untuk masuk Islam.
    • Orang kafir yang dikhawatirkan akan membahayakan agama dan umat Islam. Mereka di beri Zakat agar jangan menimbulkan bahaya.
    • Orang I slam yang masih dha’if ke Islamannya, mereka pun patut dibri agar ke Islamannya makin teguh.
  3. Memerdekakan budak. Para budak yang mukatab, yang dijanjikan akan merdeka bila membayar sejumlah harta kepada tuannya. Budak yang telah mengikat perjanjian kitabah secara sah dengan tuannya, tetapi tidak mampu membayarnya, dapat diberikan bagian dari zakat untuk mebantu mereka memerdekakan dirinya. Bahwa diantara penggunaan Zakat ialah untuk melepaskan umat manusia dari perbudakan yang hina itu. Apabila kita perhatikan tentang bagaimana tuduhan orang-orang bodoh terhadap Islam mengenai perbudakan bahkan, sebenarnya tak ada agama Islam, tentu dunia takkan terlepas dari perbudakan.
  4. Orang-orang yang berhutang (Gharimin). Gharim adalah orang yang berhutang karena suatu kebutuhan. Mereka bisa diberi Zakat untuk membayar hutangnya, dengan syarat ketika dia berhutang adalah untuk memenuhi perkara halal seperti kebutuhan pangan, pakaian, mencari ilmu dan lain-lain.
  5. Fi Sabilillah. Ialah yang menyampaikan kepada keridhaan Allah SWT, baik berupa Ilmu, maupun amal. Dan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya ialah berperang, dan bahwa jatah sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintahan. Maka orang-orang inilah yang berhak memperoleh Zakat, biar mereka kaya atapun miskin.
  6. Ibnu Sabil. Yaitu musafir yang jauh dari kampung halaman dan keluarganya, biar ia memerlukan pertolongan, maka diwajib diberi bagian dari Zakat. Karena membiayai Ibnu Sabilpun termasuk kewajiban kaum muslimin yang diambil dari Zakat, dengan syarat perjalanannya itu bukan untuk tujuan maksiat. Dari asnaf penerima Zakat Fitrah diatas, maka lebih diutamakan pemberiannya kepada para fakir dan miskin, untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Sistem Pengelolaan Zakat Fitrah Menurut Syariat Islam

Zakat bukanlah merupakan masalah urusan pribadi, yang berarti pelaksanaannya diserahkan kepada pribadi masing-masing, tanpa dikenakan hukuman apapun terhadap pribadi-pribadi wajib zakat yang enggan menunaikannya. Walaupun zakat itu yang mengeluarkan adalah orang-orang yang bersangkutan. Hal ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta sejarah, di mana pengelolaan zakat di negara-negara Islam sejak zaman nabi, Al-Khulafa’ Al-Rasyidin dan pemerintahan Islam sesudahnya semula ditangani oleh aparat pemerintahan yang disebut dengan amil zakat, yang bertugas menarik atau mengumpulkan zakat dari para wajib zakat dan kemudian membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, seperti praktek yang dilakukan mu’adz di negeri yaman, praktek ini merupakan atas perintah Nabi Muhammad SAW untuk menarik Zakat dan membagikannya mustahiqqin. Melihat fakta sejarah ini, bila kita lihat perkembangan sistem pengelolaan zakat, baik zakat mal ataupun zakat fitrah di zaman sekarang itu yang lebih berhak mengelola zakat adalah pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai aparat pemerintahan yang lengkap dengan sarana dan prasarananya dan juga mempunyai wewenang atau kekuasaan memaksa kepada wajib zakat yang enggan menunaikan kewajiban zakatnya.

Disamping itu juga dasar hukum yang menyatakan bahwa pengeloaan zakat itu hendaklahh ditangani oleh pemerintah, karena pengelolaan zakat yang dilakukan dan dilaksanakan pemerintah merupakan realisasi dari perintah-perintah agama. Sebagaimana firman Allah menegaskan :

“Ambillah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah : 103). Begitu pula halnya Rasulullah menjelaskan dalam sabdanya :

عَنِ ابْنُ عَبَاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْلِمْهُمْ اَنَّ اللهَ اَفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةًفِيْ اَمْوَالِهِمْ تُؤْخُذُمِنْ أَغْنِيَا ئِهِمْ وَتُرَدُّعَلَى فُقَرَائِهِمْ (رواه البخارى ومسلم)

“Dari Ibnu Abas r.a, sesungguhnya Rasulullah bersabda : beritahulah mereka, bahwa Allah mewajibkan atas mereka Zakat yang diambil dari orang-orang kaya, kemudian dikembalikan kepada orang-orang fakir”. (HR. Bukhari Muslim)

Berdasarkan nash Al-Quran dan hadits di atas, bahwa yang lebih berhak dan berkewajiban mengelola zakat adalah pemerintah. Dan untuk menciptakan pengelolaan yang baik, menurut hemat penulis, hendaklah para pengelola Zakat (amil zakat) memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
  1. Beragama Islam
  2. Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.
  3. Memiliki sifat amanah dan jujur
  4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.
  5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
  6. Kesungguhan amil dalam melaksanakan tugasnya.
Di samping itu perlu juga dibentuk suatu panitia yang khusus mengelola zakat agar zakat ini bisa dijadikan sumber dana yang potensial untuk menunjang pembangunan nasional dan membentuk manusia yang seutuhnya, terutama dalam hal menanggulangi kemiskinan dikalangan masyarakat Islam dan juga untuk menghindari orang-orang yang tidak mampu menjadi pengemis dan meminta-meminta yang dapat menjatuhkan cita umat Islam khususnya.

Kalau kita lihat sekarang ini dengan berdirinya Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah (BAZIS) penanganannya memerlukan orang-orang yang beriman, berakhlak mulia, berpengetahuan yang luas dan berketerampilan manajemen yang rapi agar dapat menimbulkan kewibawaan pengurus dan kepercayaan masyarakat. Sehingga apa yang direncanakan sebelumnya dapat terwujud dan dalam penyalurannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hukum Islam.

Bertolak dari uraian di atas, mengingat Zakat Fitrah ini hanya dikeluarkan satu kali dalam setahun yang merupakan kewajiban setiap orang Islam tanpa kecuali, maka sistem pengelolaannya harus benar-benar ditangani dengan baik di mana Zakat Fitrah ini dalam penyalurannya lebih diutamakan kepada fakir miskin. Sebagaimana dalam hadits Nabi menyebutkan :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ,قَالَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَالْفِطْرِطُهْرَةًلِلصَّائِمِ مِنَ لَّلغْوِوَالرَّفَثَ وَطُعْمَةًلِلْمَسَا كِيْنِ فَمَنْ اَدَّهَاقَبْلَ الصَّلَاةِفَهْيَ زَكَاةٌمَقْبُوْلَةٌوَمَنْ اَدَّاهَابَعْدَالصَّلَاةِ,فَهِيَ صَدَقَةٌمِنَ الصَّدَقَاتِ (رواه ابودوادوابن ماجه وصحه الحاكيم)

“Dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata : Rasulullah SAW telah mewajibkan Zakat Fitrah itu sebagai penyucian dari perbuatan perkataan sia-sia dan cabul (yang terjadi selama puasa), dan sebagai makanan orang-orang miskin, barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat hari raya, maka termasuk Zakat yang diterima (sah), dan barang siapa yang menunaikannya setelah selesai shalat hari raya, maka Zakatnya itu hanya salah satu sadaqah dari sadaqah-sadaqah biasa”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majjah dan dinilai shahih oleh Al-Hakim).

Bertolak dari hadits di atas bahwa zakat fitrah itu di dalam penyalurannya harus lebih mementingkan orang-orang miskin dari pada asnaf-asnaf yang lain sebagaimana tersebut dalam surat At-Taubah ayat 60, sebab zakat fitrah ini untuk menghindari orang miskin meminta-minta pada hari raya idul fitri tersebut.

Maka dengan sistem pengelolaan yang baik apabila dilaksanakan olh orang yang dapat dipercaya untuk mengumpulkan zakat sesuai dengan ketentuan hukum Islam, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang adil makmur dan maju yang diridhai oleh Allah SWT, maka orang-orang yang dipercaya untuk menjadi pengumpul zakat benar-benar orang yang beriman, berakhlak mulia, berpengetahuan luas dan berketerampilan manajemen yang rapi, sehingga kepercayaan yang diberikan masyarakat dapat menimbulkan kewibawaan pengurus atau para amil zakat.

Dari uraian-uraian di atas, bahwa yang berhak mengelola dan menyalurkan zakat adalah pemerintah. Karena hal ini sejalan pula dengan bunyi pasala 34 UUD 1945 yang menyatakan “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”.

Bertitik tolak dari pasal 34 UUD 1945 di atas jelaslah bahwa pemerintahlah yang berhak mengelola zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan juga sekarang kita lihat pemerintah berusaha menanggulangi kemiskinan yang masih ada di tengah-yengah masyarakat, dengan memberikan bantuan atau modal dalam membantu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Dengan demikian dapatlah kita ambil suatu kesimpulan bahwa dari dasar Al-Qur’an, hadits dan fakta sejarah yang telah penulis kemukakan di atas, hukum Islam tidak menghalangi sistem penggelolaan zakat baik itu zakat mal atau zakat fitrah yang dilakukan oleh pemerintah, asal pengelolaannya tidak menyimpang dari ketentuan sebagaimana yang telah digariskan oleh hukum Islam.

Hukum dan Dalil Zakat Fitrah

Untuk mengetahui lebih jauh hukum mengeluarkan zakatul fithri dan untuk manghilangkan was-was, ragu, sangka dan waham yang mungkin ditimbulkan oleh perselisihan ulama dalam soal ini, perhatikanlah firman Allah dan sabda Rasul yang kami terangkan di bawah ini : Berfirman Allah SWT :

“sungguh telah menang orang yang mengeluarkan zakat (fithrahnya) menyebut nama tuhanmu (mengucap takbir, membesarkan Allah) lalu ia mengerjakan sembahyang (hari raya Idul Fitri)”. (QS. Al A’la : 14-15).

Ayat Allah ini, menurut riwayat Ibnu Khuzaimah, diturunkan berkenaan dengan zakat fitrah, takbir hari raya puasa dan sembahyang.

Diambil pengertian dari ayat ini, bahwa zakatulfithri itu, satu suruhan agama, satu pekerjaan yang mendatangkan keuntungan dan kemenangan.

Zakat itu hukumnya wajib di dalam Fat-hul Bari : ditambah dengan nama Zakat ini dengan kata fitrah karena diwajibkan setelah selesai mengerjakan puasa Ramadhan sebagaimana hadits Rasulullah :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ,قَالَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَا ةَالْفِطْرِ طُهْرَ ةً لِلصَّا ئِمِ مِنَ لَّلغْوِ وَ الرَّ فَثَ وَطُعْمَةً لِلْمَسَا كِيْنِ فَمَنْ اَدَّ هَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهْيَ زَكَاةٌمَقْبُوْ لَةٌ وَمَنْ اَدَّا هَا بَعْدَ الصَّلَا ةِ,فَهِيَ صَدَ قَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ (رواه أبو دواد و ابن ماجه وصححه الحاكم)

“Dari Ibnu Abbas r.a dia berkata: Rasulullah SAW telah mewajibkan Zakat Fitrah itu sebagai penyucian dari perbuatan perkataan sia-sia dan cabul (yang terjadi selama puasa), dan sebagai makanan orang-orang miskin, barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat hari raya, maka termasuk Zakat yang diterima (sah), dan barang siapa yang menunaikannya setelah selesai shalat hari raya, maka Zakatnya itu hanya salah satu sadaqah dari sadaqah-sadaqah biasa, (HR. Abu Daud, Ibnu Majjah dan dinilai Shohih oleh Al-Hakim)”.

Pemberitahuan Ibnu Abbas ini menegaskan dan menyatakan dengan terang hukum Zakat Fitri. Dengan hadits ini kita mengetahui, bahwa Zakatul Fitri suatu fardhu, wajib ditunaikan oleh umat Islam guna mensucikan diri dan membantu mereka yang miskin.

Hari raya adalah hari gembira dan bersuka cita tahunan,karenanya kegembiraan itu harus ditebarkan pada seluruh anggota masyarakat muslim.simuslim tidak akan merasa bahagia apabila ia melihat orang kaya dan orang yang mampu ini makan segala apa yang nikmat dan baik, sementara ia sendiri tidak mampu mendapatkan makanan pokok pada hari Ied muslim tersebut. Maka tetaplah dengan hikmah syari’at, mewajibkan sesuatu pemenuhan kebutuhan orang itu dan pencegahannya dari meminta-minta simiskin akan merasa pula bahwa masyarakat tidak membiarkan urusannya. Tidak melupakannya pada hari yangg berbahagia dan agung itu.

Dari hikmah zakat Fitrah di atas dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa kita wajib mensyukuri karunia Allah SWT, menumbuh suburkan harta dan pahala serta membersihkan diri dari sifat-sifat kikir, dengki, iri serta dosa yang kita lakukan selama berpuasa.

SUMBER : 
  • Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat, Hukum, Tata cara dan Sejarah, (Bandung : Marja)
  • T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1987)
  • A. Zainuddin, dkk. Al-Islam I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1990)
  • Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sadaqah, (Jakarta : Gema Insani, 1998)
  • Sudirman, Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas, (Malang : UIN Malang Press, 2007) 
  • Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (jakarta: Universitas Indonesia, 1998), cet. Ke-1
  • Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet, Ke-1 
  • Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3. (Bandung : PT Alma’arif, 1978)
  • Zuhdi Musjfuk, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : Haji Masagung, 1994)
  • Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam, (Al Ikhlas : Usana Offset Printing Surabaya – Indonesia , 1991)
  • Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam II Hadits Hadits Hukum,(Al-Ikhlas : Usana Offset Printing Surabaya-Indonesia, 1991)
      edit

0 comments:

Post a Comment